KOMPAS.com - Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis dua laporan, yakni data inflasi pada 1 November 2024 dan angka pertumbuhan ekonomi kuartal III 2024 pada 5 November 2024.
Berdasarkan laporan tersebut, Indonesia mencatat inflasi sebesar 0,16 persen month-on-month (mom) pada Oktober 2024, setelah lima bulan deflasi.
Meski demikian, inflasi Indonesia tercatat turun menjadi 1,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Oktober 2024. Ini merupakan inflasi terendah sejak Oktober 2021.
Treasury and Capital Market Head PT Bank Danamon Indonesia Tbk Herman Savio menilai, kenaikan inflasi tersebut salah satunya dipengaruhi oleh harga emas internasional yang lebih tinggi, bukan karena permintaan domestik yang kuat.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi kuartal III 2024 yang tercatat 4,95 persen yoy terpantau lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal III 2023 sebesar 4,94 persen.
“Jika melihat data BPS tersebut, inflasi pada kuartal ketiga tahun ini tumbuh, meski tipis. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi lebih lambat dibandingkan dengan kuartal II 2024 yang masih berada pada kisaran 5 persen,” ujar Herman sebagaimana diwartakan Bisnis Indonesia, Senin (25/11/2024).
Herman melanjutkan, dari komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi, hanya tiga kelompok yang tumbuh, yakni pembentukan modal tetap bruto atau investasi, ekspor, dan impor.
Sebaliknya, pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran lembaga non-profit yang melayani rumah tangga (LNPRT), serta pengeluaran konsumsi pemerintah, mengalami kontraksi.
Khusus pengeluaran konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi terbesar, justru mengalami perlambatan.
“Hal itu tecermin dari kontribusi konsumsi domestik yang terus menurun menjadi 2,55 persen hingga kuartal III 2024 dibandingkan historikalnya yang berkontribusi sebesar 2,62 persen,” terang Herman.
Herman menambahkan, ada sejumlah faktor yang membuat laju ekonomi dalam negeri terbatas.
Pertama, perlambatan konsumsi domestik yang dipengaruhi beberapa faktor, seperti perlambatan ekonomi China yang menekan permintaan hasil ekspor industri dan komoditas, serta pengaruh dari suku bunga yang tinggi secara global.
Kedua, turunnya jumlah masyarakat kelas menengah yang menjadi penopang ekonomi melalui konsumsi belanja, dari 57,83 juta pada 2019 menjadi 47,58 juta pada 2024.
“Jumlah kelas menengah yang berkurang tak lepas dari pengaruh inflasi yang mendorong kenaikan harga barang dan jasa. Sementara itu, kenaikan upah cenderung lebih lambat dari kenaikan harga barang dan jasa serta biaya hidup,” papar Herman.
Peran perbankan
Menurut Herman, industri perbankan memiliki peran krusial dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Tak terkecuali, bank yang memiliki jangkauan lokal hingga global dengan solusi keuangan holistik dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan nasabah. Demikian pula lembaga jasa keuangan, seperti perusahaan pembiayaan.
Adapun Danamon sebagai salah satu pamain di industri perbankan didukung oleh jaringan global dan lokal bersama MUFG sebagai perusahaan induk, grup perusahaan Adira Finance, Home Credit Indonesia, Mandala Finance, dan Zurich Asuransi Indonesia.
Sejumlah mitra strategisnya juga turut bertransformasi sebagai Satu Grup Finansial, seperti Grab, Akulaku, dan Manulife Indonesia.
Sebagai salah satu grup keuangan di Tanah Air, Danamon menawarkan jejaring luas di kancah lokal dan global, sekaligus menghadirkan solusi keuangan yang menyeluruh yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan konsumen.
“Ruang menggenjot kredit oleh bank cukup terbuka dengan adanya penyesuaian kebijakan dari pemerintah dan regulator. Bank Indonesia (BI) mempertahankan BI Rate di level 6 persen dan memberi kelonggaran bagi sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta ekonomi hijau melalui pemberian insentif,” kata Herman.
Sebagai informasi, BI sejak 1 Juni 2024 telah memberi insentif giro wajib minimum (GWM) kepada bank yang menyasar pembiayaan ke lapangan usaha otomotif, perdagangan, listrik, gas, utilitas air, dan memperpanjang kebijakan loan to value (LTV) hingga 31 Desember 2025.
Tidak hanya itu, lanjut Herman, pemerintah juga turut memberi insentif dalam bentuk pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah (DTP) hingga akhir 2024.
“Seluruh insentif tersebut bertujuan meningkatkan konsumsi masyarakat dan dapat dimanfaatkan perbankan untuk menggenjot pembiayaan konsumsi yang dalam kurun lima tahun terakhir, rerata tumbuh 6 persen, jauh di bawah periode 2015—2019 yang rerata tumbuh 10,25 persen,” jelas Herman.
Pada 2025, imbuh Herman, perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh sebesar 5,11 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan proyeksi 2024 sebesar 5,05 persen.
Selain itu, penurunan suku bunga dan pemulihan ekonomi China juga dinilai berdampak positif serta mendukung pertumbuhan yang lebih solid.
Seiring dengan pemulihan ekonomi global, permintaan terhadap produk ekspor dan komoditas Indonesia diharapkan meningkat sehingga dapat mendorong aktivitas domestik yang lebih tinggi.
“Hal itu juga didukung oleh inflasi pada 2025 yang diperkirakan tetap terkendali di kisaran 2,51 persen. Inflasi yang stabil diharapkan dapat mendorong konsumsi rumah tangga. Sasaran inflasi ini juga menjadi acuan bagi perbankan dalam meningkatkan performa pembiayaan konsumsi,” imbuhnya.
Optimalisasi sektor andalan
Herman menambahkan, agar peran perbankan dalam meningkatkan peran perekonomian melalui peningkatan kredit konsumsi lebih nyata, pelaku industri bank dapat memanfaatkan sektor-sektor andalan konsumsi.
Sebagai contoh, kredit rumah, kendaraan, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Hal ini dapat diwujudkan dengan mengoptimalkan kanal digital dan grup bisnis keuangan.
Selain itu, lanjut Herman, otoritas moneter dapat memberikan stimulus tambahan. Misalnya, perluasan insentif GWM yang menyasar industri berorientasi ekspor, padat karya, dan industri pencipta lapangan kerja. Dengan insentif tersebut, peluang pertumbuhan kredit lebih terbuka.
“Pelaku industri bank juga dapat menyasar lapangan usaha yang secara profil risiko usaha cukup tinggi, tetapi potensial untuk didanai, seperti perkebunan, pertanian, perikanan, serta kelautan. Sektor-sektor ini tengah disiapkan pemerintah sebagai program penghiliran investasi strategis dengan nilai diperkirakan mencapai 51,4 miliar dollar Amerika Serikat (AS),” terang Herman.
Meski begitu, lanjut dia, pembiayaan ke sektor-sektor tersebut perlu memperhatikan kebijakan masing-masing bank dalam penyaluran kredit.
Selain itu, diperlukan pula penguatan dengan memanfaatkan credit scoring serta keterlibatan pihak ketiga, seperti credit agency atau lembaga penjaminan untuk mengurangi sebagian risiko kredit.
“Kebijakan bank sentral ke depan diharapkan lebih akomodatif untuk mendukung sektor usaha ataupun perbankan yang menyalurkan kredit kepada sektor-sektor potensial dan diprioritaskan untuk mengangkat konsumsi domestik dengan dukungan proyeksi penurunan suku bunga yang lebih rendah pada 2025,” kata Herman.
Ia berharap, dengan dukungan bank sentral serta kemudahan dari bank, daya beli masyarakat meningkat dan memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Peningkatan konsumsi domestik dapat memperkuat sektor-sektor terkait, mempercepat pemulihan, dan memperkokoh perekonomian Indonesia, baik pada 2024 maupun 2025,” ujar Herman.