JAKARTA, KOMPAS.com – Selama dua tahun terakhir, iklim industri investasi dan startup di Indonesia mengalami koreksi valuasi dan penurunan likuiditas. Hal ini membuat investor kini semakin selektif dalam memilih startup yang akan didanai.
Tak ayal, industri investasi dan startup Indonesia memasuki 2025 dengan berbagai tantangan dan peluang.
Kondisi tersebut menuntut para pendiri startup untuk lebih realistis dalam membangun bisnis yang berkelanjutan, bukan sekadar mengejar status unicorn.
Tren itulah yang tecermin dalam diskusi panel di acara "Investment Outlook 2025" yang digelar di FLOW Midplaza, Jakarta, Rabu (5/2/2025).
Acara tersebut menghadirkan para pemimpin dari tiga venture capital ternama, yakni Founding Partner Intudo dan Endeavor Ambassador Patrick Yip, Managing Director OCBC Ventura Darryl Ratulangi, dan Partner Trihill Capital Anthony Tjajadi.
Diskusi yang dipandu oleh General Manager (GM) dan Global Vice President (VP) Sales Aspire Ferdy Nandes itu mengidentifikasi tiga kunci sukses bagi startup di 2025, yakni kemampuan beradaptasi dengan perubahan cepat (adaptability), konsistensi dalam membangun fundamental bisnis (consistency), dan kedisiplinan dalam mengelola pertumbuhan (discipline).
Pergeseran fokus investor
Salah satu perubahan terbesar dalam pola pikir investor adalah pergeseran fokus dari sekadar pertumbuhan cepat ke fundamental bisnis yang kuat.
Patrick Yip menekankan bahwa pasar kini lebih menghargai startup dengan unit economics yang sehat jika dibandingkan perusahaan yang hanya mengejar valuasi tinggi.
“Pasar sekarang lebih menghargai bisnis dengan profitabilitas yang jelas ketimbang sekadar pertumbuhan pengguna. Investor mencari startup yang memiliki strategi monetisasi yang berkelanjutan,” ujar Patrick.
Hal itu pun diamini oleh Anthony. Ia menambahkan, saat ini, bisnis tidak lagi hanya dinilai dari pertumbuhan eksponensial, tetapi dari bagaimana cara para pendiri startup memahami pasar dan pelanggan mereka.
“Model bisnis yang sederhana, tetapi tangguh, lebih (bisa jadi lebih) menarik bagi investor,” ungkapnya.
Anthony juga mengungkapkan tren penurunan investor asing di Indonesia. Menurutnya, saat ini, semakin sedikit investor asing yang masuk ke Indonesia. Banyak yang memilih bertahan di negara asal atau pindah ke negara tetangga.
Meski begitu, ia menilai, kondisi tersebut justru menjadi momentum bagi penguatan peran investor lokal.
"Sekarang lebih dari sebelumnya, kami sebagai investor lokal harus bersatu. Kami tidak berkompetisi, tapi saling melengkapi untuk membangun ekosistem startup yang sehat," tegasnya.
Selain lebih selektif dalam memilih startup, investor kini juga lebih aktif dalam memberikan arahan bisnis. Darryl menjelaskan, dinamika hubungan antara investor dan pendiri startup sedikit banyak telah berubah.
“Founder harus siap untuk (menjalin) kolaborasi yang lebih erat dengan investor. Kami tidak hanya memberi dana, tetapi juga masukan strategis yang lebih tajam agar bisnis benar-benar bisa berkembang,” kata Darryl.
Pergeseran itu pun membawa tantangan tersendiri bagi pendiri startup yang sebelumnya terbiasa dengan kebebasan penuh dalam menjalankan bisnis mereka.
Namun, bagi investor, pendekatan tersebut adalah cara untuk memastikan bahwa dana yang mereka tanamkan menghasilkan pertumbuhan bisnis yang lebih sehat.
Strategi Aspire, jadi lebih bijak berkat “tekanan” investor
Sebagai salah satu pemain startup di Indonesia, Ferdy menyoroti perubahan yang terjadi di dunia startup, terutama dalam hubungan antara investor dan pendiri perusahaan. Menurutnya, dengan banyak investor yang lebih hands-on, sebenarnya memberikan check and balance yang baik bagi startup.
“Terkadang, sebagai startup, kami bisa terjebak dengan sudut pandang yang terlalu sempit. Investor yang lebih terlibat dapat membantu melihat peluang dan tantangan yang mungkin tidak kami sadari sebelumnya,” ujarnya dalam wawancara terpisah dengan Kompas.com.
Ferdy pun mengakui bahwa keterlibatan investor yang lebih dalam memiliki dampak positif bagi perusahaan.
“Kami sering mendapat pertanyaan tajam dari investor. Hal itu membantu kami untuk lebih fokus pada prioritas utama bisnis. Sekarang, bukan hanya soal mengejar pertumbuhan pengguna, tetapi juga memastikan margin yang sehat dan keberlanjutan jangka panjang,” ungkap Ferdy.
Ferdy juga menekankan bahwa kini investor lebih ketat dalam memberikan pendanaan. Dahulu, investor lebih banyak berfokus pada pertumbuhan bisnis. Kini, mereka lebih menekankan keberlanjutan bisnis (sustainability).
“Mereka ingin melihat bagaimana startup bisa bertahan dengan model bisnis yang sehat dan semakin maju,” tambahnya.
Oleh karena itu, Aspire kini lebih berhati-hati dalam menyusun strategi pertumbuhan, dengan memastikan setiap langkah yang diambil dapat memberikan dampak jangka panjang yang positif.
“Kami yakin bahwa sumber daya manusia yang unggul akan menjadi pembeda utama dalam persaingan global,” tambahnya.
Aspire pun menetapkan tiga strategi utama untuk menghadapi 2025. Pertama, perusahaan fokus pada ekspansi global dengan memperkuat kehadiran di Asia Pasifik dan menjajaki pasar baru di Amerika Serikat dan Inggris.
Kedua, Aspire terus mengembangkan produk berbasis kebutuhan pelanggan dengan lebih memperhatikan keseimbangan unit ekonomi dan profitabilitas. Ketiga, perekrutan talenta terbaik menjadi prioritas utama untuk memastikan daya saing dalam persaingan global.
Teknologi AI, peluang besar dengan tantangan yang tak kalah besar
Perkembangan pesat dan masifnya penggunaan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) beberapa waktu terakhir dapat menjadi pisau bermata dua bagi startup.
Patrick menekankan bahwa kecerdasan buatan menawarkan peluang besar bagi startup untuk meningkatkan efisiensi dan menciptakan produk yang lebih inovatif.
“AI bukan hanya soal otomatisasi, tetapi juga bagaimana kita bisa memahami pelanggan lebih dalam dan menciptakan solusi yang lebih relevan,” jelasnya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa adopsi AI harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan ketimpangan di pasar tenaga kerja.
Darryl menambahkan bahwa meskipun AI menawarkan potensi besar, ada tantangan tersendiri bagi startup yang ingin mengadopsinya.
“Teknologi ini tidak bisa menggantikan nilai-nilai fundamental, seperti transparansi dan kepercayaan. Startup tetap harus membangun hubungan yang baik dengan pelanggan dan investor,” katanya.
Anthony juga melihat bahwa meskipun AI adalah tren global, tidak semua startup harus terburu-buru mengadopsinya.
“Startup harus tetap realistis. Tidak semua bisnis membutuhkan teknologi canggih sejak awal. Fokus utama harus tetap pada membangun bisnis yang sustainable,” tegasnya.
Sektor potensial dengan pendekatan realistis
Di tengah dinamika investasi yang terus berubah, para investor sepakat bahwa beberapa sektor akan tetap menarik di 2025, tetapi dengan catatan penting. Patrick menyebutkan bahwa inovasi lokal yang mampu bersaing di pasar global memiliki peluang besar.
“Indonesia memiliki keunggulan dalam menyesuaikan teknologi dengan kebutuhan pasar lokal. Startup yang bisa menggabungkan teknologi dengan pemahaman pasar akan lebih mudah bertahan,” ujarnya.
Darryl menambahkan bahwa pola konsumsi masyarakat yang semakin mengutamakan pengalaman dibandingkan dengan kepemilikan barang, membuka peluang bagi sektor hiburan dan gaya hidup.
“Tren ini menciptakan banyak peluang bagi startup yang bisa menawarkan pengalaman unik kepada konsumennya,” katanya.
Sementara itu, Anthony mengingatkan pentingnya startup untuk menyadari kekuatan mereka dan fokus pada pasar Indonesia terlebih dahulu sebelum berpikir ekspansi.
"Di Indonesia, kami lebih tertarik dengan bisnis yang lebih tradisional karena itu bisnis yang bisa cocok dengan karakteristik pasar lokal," jelasnya.
Ia juga menilai bahwa model bisnis tradisional, seperti ritel dan F&B juga masih memiliki daya tarik tersendiri.
“Sering kali kita terlalu fokus pada teknologi baru. Padahal, bisnis dengan fundamental yang kuat dan model sederhana justru (kerap kali) lebih tahan banting,” jelasnya.
Tantangan yang mungkin mengadang
Meskipun ada banyak peluang, startup juga harus siap menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah cepatnya perubahan yang terjadi di industri.
"Everything restart. Kalau dulu bisa bikin yearly budget, sekarang every week things change. Startup harus bisa menyesuaikan strategi dengan cepat," ujar Darryl.
Patrick turut mengingatkan bahwa mengumpulkan terlalu banyak dana di awal bisa menjadi bumerang.
“Founder yang mendapatkan dana besar cenderung kurang disiplin dalam mengelola pengeluaran. Ini bisa menjadi masalah serius dalam jangka panjang,” katanya.
Sementara itu, Darryl mengingatkan, fundraising harus dilihat sebagai awal perjalanan, bukan tujuan akhir.
“Founder harus memahami bahwa mengambil dana investor berarti mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Transparansi dan perencanaan yang matang sangatlah penting,” ujarnya.
Para investor juga memberikan beberapa pesan kunci untuk founderstartup dalam menghadapi tantangan 2025.
"Jangan pandai terlalu banyak dana di awal. Ini akan bagus di media, tapi belum tentu bagus untuk bisnis," tegas Darryl.
Sementara itu, Patrick mengajak pendiri startup untuk melihat kesempatan bersama investor lokal.
"Surround yourself with local investors first. Pada tahap awal, pilihlah investor lokal yang benar-benar bisa memberi nilai tambah," saran Patrick.
"Fokus pada operasional bisnis, jangan terlalu sibuk fundraising. CEO tidak seharusnya menghabiskan waktu terlalu banyak untuk fundraising," tambah Anthony.
Ke depan, kolaborasi antara kedua belah pihak akan menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem yang lebih sehat.
“Indonesia memiliki potensi besar sebagai pusat inovasi global. Namun, semua itu hanya bisa dicapai jika startup dan investor bekerja sama untuk membangun bisnis yang memiliki dasar yang kuat,” kata Patrick.