Advertorial

Jelang Ramadhan, Indeks Kepercayaan Industri Februari 2025 Masih Optimistis

Kompas.com - 28/02/2025, 21:37 WIB

KOMPAS.com – Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Februari 2025 menunjukkan ekspansi dengan nilai 53,15. Angka ini naik 0,05 poin dari Januari 2025 dan meningkat 0,59 poin dari periode yang sama tahun lalu.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif menyampaikan, peningkatan IKI didukung ekspansi di 21 subsektor industri. Kontribusi subsektor tersebut terhadap produk domestik bruto (PDB) triwulan IV 2024 mencapai 97,7 persen.

"Peningkatan ini didorong oleh ekspansi pada seluruh variabel pembentuk IKI, yaitu pesanan baru, produksi, dan persediaan," kata Febri dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Jumat (28/2/2025).

Variabel pesanan baru meningkat 1,83 poin dari bulan sebelumnya menjadi 54,57. Sementara itu, variabel produksi tetap mengalami ekspansi di angka 50,55, meski turun 2,84 poin dari Januari 2025. Persediaan juga masih ekspansi dengan indeks 53,52, walau turun 0,06 poin.

"Perlambatan produksi dan persediaan ini disebabkan belum optimalnya penyerapan persediaan produksi. Perusahaan industri memilih berhati-hati dalam menambah produksi," jelas Febri.

Efek penurunan daya beli konsumen

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Januari 2025 tercatat turun 0,5 poin dari Desember 2024. Kondisi ini dipengaruhi oleh penurunan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE), meskipun persepsi konsumen terhadap ekonomi tetap kuat.

Salah satu indikatornya adalah penurunan proporsi konsumsi terhadap pendapatan. Pada kelompok pengeluaran Rp 3,1–4 juta, konsumsi tercatat sebesar 70,9 persen di Januari 2025. Angka ini lebih rendah ketimbang Desember yang mencapai 72,8 persen.

Di sisi lain, porsi pembayaran cicilan atau utang terhadap pendapatan meningkat di seluruh kelompok pengeluaran.

Hal itu menunjukkan perubahan preferensi konsumen yang lebih mengutamakan pembayaran utang daripada konsumsi. Pada akhirnya, perubahan ini memengaruhi permintaan produk industri pengolahan di pasar.

Subsektor dengan performa tertinggi dan terendah

Pada Februari 2025, subsektor dengan nilai IKI tertinggi adalah industri peralatan listrik serta industri pencetakan dan reproduksi media rekaman.

Kemudian, dua subsektor yang mengalami kontraksi adalah industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) serta reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan.

Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Agro Kemenperin Yulia Astuti, kontraksi pada industri kayu disebabkan oleh penurunan pesanan, terutama dari Amerika Serikat, Jepang, dan China.

"Jepang, misalnya, lebih memprioritaskan kayu lokal sehingga pesanan dari Indonesia berkurang hampir 50 persen," ucap Yulia.

Sementara di subsektor reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan, Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian Solehan menerangkan, penurunan disebabkan aktivitas belanja pemerintah yang rendah di awal tahun.

"Selain itu, penurunan aktivitas pertambangan dan perlambatan investasi juga berdampak pada berkurangnya pemasangan mesin. Kondisi keuangan perusahaan turut memengaruhi keputusan penundaan perawatan mesin," terangnya.

Meski ada beberapa tantangan, optimisme pelaku industri tetap tinggi. Sebanyak 78,4 persen responden menyatakan kondisi usahanya membaik atau stabil pada Februari 2025. Angka ini meningkat 1,6 persen dari bulan sebelumnya.

Sementara itu, persentase responden yang melaporkan penurunan usaha turun menjadi 21,5 persen dari sebelumnya 23,2 persen. Namun, optimisme pelaku usaha untuk enam bulan ke depan turun 0,3 persen menjadi 72,2 persen dari Januari 2025.

Banjir produk impor elektronik, industri lokal terancam

Kemenperin menyoroti kondisi industri elektronik yang terus tertekan akibat produk impor murah yang membanjiri pasar dalam negeri.

Febri menjelaskan bahwa utilisasi industri elektronik dalam negeri masih di bawah 40 persen. Sebagian besar perusahaan di sektor ini tidak hanya berperan sebagai produsen, tetapi juga sebagai importir.

"Kondisi ini diperparah oleh rendahnya permintaan domestik dan kebijakan efisiensi belanja pemerintah yang menjadi salah satu konsumen utama produk elektronik," ujar Febri.

Ia juga menyoroti regulasi yang belum cukup melindungi industri elektronik dalam negeri.

Salah satunya adalah aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang saat ini hanya berlaku untuk produk tertentu, seperti ponsel, komputer genggam, dan tablet, sehingga belum mencakup berbagai jenis elektronik lain.

Selain itu, kewajiban sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) juga belum diterapkan secara menyeluruh pada semua produk elektronik. Hal ini membuat pasar domestik terbuka bagi barang impor tanpa standar yang ketat.

Kondisi tersebut diperburuk oleh kebijakan tarif nol persen untuk produk elektronik hilir dalam perjanjian perdagangan regional dan bilateral. Dengan demikian, produk luar negeri kian mudah masuk dan menekan daya saing industri dalam negeri.

Kemenperin akan mendorong pembukaan ruang dalam pasar domestik bagi produk dalam negeri yang selama ini diserap pemerintah. Salah satunya adalah dengan memberlakukan kebijakan pembatasan impor produk elektronik.

"Dengan demikian, pasar domestik bisa diisi oleh produk lokal," kata Febri.

Investasi Danantara untuk manufaktur

Untuk mendukung pertumbuhan sektor manufaktur, pemerintah mendorong pembentukan Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang diharapkan dapat mempercepat hilirisasi industri.

"Seperti yang disampaikan Menteri Perindustrian, gelombang pertama investasi Danantara sebesar 20 miliar dollar AS akan dialokasikan ke sejumlah proyek industrialisasi, salah satunya sektor petrokimia," ujar Febri.

Ia menambahkan, pemerintah telah menyiapkan beberapa proyek industrialisasi sebagai bagian dari prioritas Presiden Prabowo Subianto.

"Kemenperin berharap, investasi Danantara bisa digunakan untuk melengkapi rantai industri yang saat ini masih belum optimal," kata Febri.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau