KOMPAS.com – Kunjungan ke Yogyakarta terasa kurang lengkap tanpa mencicipi kuliner khasnya. Salah satu yang tak boleh dilewatkan adalah Warung Bu Sum. Tempat makan legendaris di Pasar Beringharjo ini telah melayani pelanggan selama lebih dari 60 tahun.
Meski telah berdiri sejak lama, warung tersebut tetap mempertahankan eksistensinya dan selalu dipadati oleh pengunjung.
Hal itu tak terlepas dari keunikan cita rasa dan konsistensi kualitas sehingga menjadi destinasi kuliner favorit bagi para pelanggan setia.
Udiyanti—penerus generasi ketiga dari Warung Bu Sum—menceritakan bahwa usaha tersebut dulunya merupakan tempat makan kecil biasa tanpa nama.
Seiring waktu berjalan, Warung Bu Sum semakin berkembang dan sukses meraih omzet hingga belasan juta rupiah setiap hari.
Warung Bu Sum terkenal dengan hidangan sate kere yang terbuat dari sandung lamur (daging sapi dengan lapisan lemak) yang dibakar dengan bumbu rempah dan kecap. Ada pula gulai sapi hingga soto daging yang tak kalah lezat untuk disantap.
“Di sini memang makanannya khas Jawa semua. Menu favoritnya adalah sate kere yang terbuat dari daging sapi. Ada juga sate ayam, nasi gudeg, mangut lele, dan lainnya. Kami buka pukul 06.00 hingga 16.00 sesuai jam operasional pasar,” ujar Udiyanti dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Jumat (11/4/2025).
Menariknya, tempat makan tersebut masih mempertahankan cara memasak tradisional, yakni menggunakan anglo, kecuali untuk kuahnya.
Jika makan langsung di warung, para konsumen dapat mencium sendiri aroma rempah yang gurih dan nikmat sehingga menambah selera makan.
Udiyanti bercerita bahwa usaha turun-temurun tersebut meraih omzet besar pada momen Lebaran.
“Selama Lebaran, kami tutup dua hari. Di hari ke-3 baru buka kembali dan langsung ramai, bahkan hingga libur sekolah usai,” tuturnya.
Berkembang dengan pendanaan dari BRI
Udiyanti mengakui bahwa berkembangnya Warung Bu Sum bukan hanya hasil dari kerja keras semata.
Dukungan pendanaan bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dari BRI juga menjadi salah satu faktor penting yang membantu warung legendaris ini tumbuh dan bertahan.
Udiyanti sendiri mengetahui program pendanaan UMKM dari BRI saat bank tersebut mengadakan Grebek Pasar di Pasar Beringharjo.
Saat itu, Warung Bu Sum mendapat tawaran untuk mengajukan pendanaan. Semula, ia merasa ragu dan khawatir akan prosesnya yang rumit, bahkan pinjaman yang ditolak.
Namun, kekhawatiran itu sirna setelah ia merasakan sendiri proses pengajuan pinjaman di BRI yang mudah dan cepat.
“Pertama kali saya pinjam Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI sekitar Rp 50 juta. Lalu, saya ajukan pinjaman lagi sebesar Rp 100 juta, Rp 150 juta, dan terakhir Rp 250 juta. Jadi, totalnya ada empat kali pengajuan pinjaman,” cerita Udiyanti.
Sebagian besar pinjaman, lanjutnya, digunakan untuk mengembangkan usaha warung, seperti membeli etalase yang lebih besar dan bagus, menambah meja dan kursi, membeli kulkas dan freezer, serta modal tambahan.
Kehadiran program pendanaan UMKM dari BRI berhasil membantu Udiyanti. Pasalnya, warung makan yang dulu hanya kecil-kecilan, kini bisa semakin besar dan dikenal sejak mendapatkan bantuan dana dari BRI.
“Program ini sangat membantu, apalagi pelayanan dari BRI juga lancar dan mudah. Kalau ada kebutuhan tertentu juga prosesnya cepat dan langsung ditolong. Saya cukup puas dan senang dengan kehadiran dari program pendanaan untuk UMKM dari BRI. Saya harap, program ini tetap bisa membantu para UMKM kecil,” ujar dia.
Pada kesempatan terpisah, Corporate Secretary BRI Agustya Hendy Bernadi menuturkan bahwa BRI secara konsisten mengimplementasikan Asta Cita guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional melalui penyaluran KUR kepada UMKM.
Dengan semakin luas akses pembiayaan melalui KUR, semakin banyak pula pelaku usaha yang dapat bertumbuh, berkembang, dan berkontribusi lebih besar dalam mendukung ketahanan ekonomi nasional.
“Warung legendaris Bu Sum di Yogyakarta dapat menjadi cerita inspiratif bagaimana pendanaan KUR BRI dapat membantu pengusaha UMKM untuk dapat terus mengembangkan dan memperluas usaha,” imbuhnya.