KOMPAS.com - Di balik gemuruh mesin tambang, deru kendaraan berat, dan aroma tanah yang teraduk alat berat setiap harinya, ada kisah yang jarang terdengar banyak orang.
Kisah tersebut bukan tentang emas, produksi, atau volume tonase, melainkan tentang perempuan yang mampu menembus ruang-ruang maskulin.
Di antara banyak kaum lelaki, Sarpita Tiurma Gabe dan Siti Khodijah jadi dua sosok yang mampu bersinar di tengah kerasnya industri tambang.
Sarpita sendiri tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah drastis seperti saat ini. Pada 2013, ia membuat langkah besar dengan mendaftar sebagai operator manhauler di Tambang Emas Martabe yang terletak di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Manhauler adalah kendaraan berat untuk mengangkut karyawan di area pertambangan. Kendaraan ini punya panjang 6 meter dan lebar 4 meter serta dapat mengangkut hingga 45 orang.
Bermodal keberanian, perempuan kelahiran Batang Toru 1990 itu sebenarnya tidak punya kemampuan mumpuni dalam mengemudikan mobil besar.
Bahkan, ia rela meninggalkan bangku kuliah agar dapat menghidupi orangtuanya. Kala itu, ia sudah berada di semester 7 jurusan Pendidikan Fisika di sebuah kampus di Padangsidimpuan.
Serangkaian tes tertulis dan psikotes untuk dapat bekerja di Tambang Emas Martabe dilaluinya. Ia lulus dan dinyatakan diterima bekerja.
“Waktu orangtua tahu kerjaanku bawa mobil gede, mereka ragu. Aku ditanya ‘memang bisa rupanya kau? Bautnya saja kita enggak punya.’ Kaget sih mereka di awal, tapi lambat laun percaya dan malah bangga,” ujar Sarpita dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (22/4/2025).
Selain orangtua, saudara dan tetangga yang awalnya meragukan kemampuannya juga berbalik mendukungnya setelah tahu Sarpita bisa mengendarai manhauler.
Setelah diterima bekerja, Sarpita kemudian mengikuti pelatihan di dalam kelas dan praktik di lapangan selama 6 bulan.
“Mobil pertama yang saya kendarai adalah manhauler. Bayangkan, kendaraan yang tingginya lebih dari dua kali tinggi badan saya itu adalah kendaraan pertama saya. Saya suka tantangan. Mengendarai kendaraan besar itu keren. Saya ingin menunjukkan bahwa perempuan juga bisa,” ucapnya.
Adaptif adalah kunci
Berbeda dengan Sarpita yang hadir di balik kemudi, Siti Khodijah justru eksis di balik data dan strategi.
Lulusan teknik pertambangan eksplorasi yang bermukim di Batang Toru itu memulai kariernya sebagai geologis pada 2010.
Kini, Siti menjadi bagian penting dalam Tim Support Departemen Eksplorasi PT Agincourt Resources (PTAR).
Tugasnya adalah mengelola flying camp dari satu area ke area lain di dalam hutan yang jauh dari sinyal ponsel, listrik, dan rumah sakit.
“Tugas kami bukan hanya teknis. Kami juga harus berinteraksi dengan masyarakat, mengurus izin, menyusun anggaran, mengelola logistik, dan membangun kepercayaan,” katanya.
Siti membangun kredibilitasnya lewat konsistensi, empati, dan kemampuan komunikasi yang matang.
Ia terbiasa memimpin tim laki-laki, menghadapi masyarakat yang menolak kehadiran kelompoknya, dan menyelesaikan konflik hanya dengan satu senjata, yakni berdialog.
“Saya kosongkan dulu gelas saya. Saya dengarkan mereka lebih dulu, baru saya bicara. Di situ, biasanya suasana jadi lebih tenang. Bahkan, kami bisa jalin kerja sama dengan masyarakat lokal,” ungkapnya.
Suatu waktu, ia pernah berhadapan langsung dengan seorang tokoh adat yang memimpin sekelompok masyarakat untuk menolak kegiatan eksplorasi.
Siti tidak gentar. Ia mengajak sang tokoh bicara langsung, menunjukkan dokumen legal dan peta lokasi.
“Bapak punya izin?” tanyanya.
Saat sang tokoh tidak bisa menjawab, tensi langsung turun.
Bagi Siti, bekerja di industri tambang bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal adaptasi terhadap kultur yang maskulin.
Di lokasi kerja, perempuan dihadapkan pada mayoritas rekan kerja laki-laki serta ekspektasi sosial dari keluarga dan lingkungan.
“Waktu baru kerja, tetangga sering bilang anak itu (saya) kok jarang di rumah dan suaminya yang jemur baju,’” terang Siti.
Namun, Siti tidak ambil pusing. Suaminya adalah seorang guru di sekolah menengah kejuruan (SMK). Ia pun tetap menghormatinya sebagai kepala keluarga.
Perempuan di tambang bukan lagi pengecualian
Sarpita terus berupaya membuktikan bahwa ia bukan sekadar simbol di industri tambang yang kental akan maskulinitas.
Oleh karena itu, dirinya selalu berusaha agar dapat menjalankan tugas operator dengan baik.
“Di perusahaan ini (PTAR) tidak ada kecemburuan sosial dan tidak ada yang dibeda-bedakan. Kami kerja sama, saling bantu, termasuk urusan cuci unit manhauler yang besar itu,” kata Sarpita.
PTAR selaku tempat Sarpita dan Siti bekerja selalu menerapkan kebijakan keberagaman gender secara serius.
Kebijakan itu mulai dari pelatihan berjenjang, pelatihan keselamatan kerja, penyediaan ruang laktasi, cuti bersalin 4 bulan, hingga cuti ayah selama 2 minggu.
PTAR juga memastikan bahwa setiap individu, apa pun gendernya, memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang di semua level kerja serta menerima gaji yang setara untuk pekerjaan dengan tanggung jawab yang sama.
“Pemerintah saja kasih cuti melahirkan 3 bulan, di perusahaan ini 4 bulan. Bahkan, laki-laki pun dapat paternity leave. Ini belum tentu ada di tempat lain,” ujar Sarpita.
Bagi mereka, setara bukan berarti harus sama, tetapi tentang bagaimana sistem kerja, pengakuan, dan budaya perusahaan mendukung semua karyawan tanpa memandang gender.
“Kebijakan itu bukan hanya soal hak perempuan, tapi soal bagaimana menciptakan tempat kerja yang sehat dan adil untuk semua,” jelas Siti.
Kisah Sarpita dan Siti membuktikan bahwa dunia tambang tak lagi menjadi wilayah eksklusif untuk laki-laki.
Untuk perempuan, mereka tidak datang untuk mengubah struktur tambang, tetapi menghadirkan warna baru dalam budaya kerja yang selama ini didominasi satu perspektif.
Mereka juga hadir sebagai mitra setara dengan nilai-nilai yang memperkuat kolaborasi, keselamatan, dan inovasi.