KOMPAS.com - Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menilai, keikutsertaan Indonesia ke dalam kelompok ekonomi Brazil, Rusia, India, China, dan South Africa (BRICS) berdampak strategis terhadap kemajuan sektor industri manufaktur nasional.
Langkah tersebut dapat mempercepat transformasi digital serta memperkuat daya saing global.
Indonesia sendiri resmi bergabung sebagai anggota BRICS pada Januari 2025 dan menjadi anggota ke-10 setelah Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab.
BRICS merupakan aliansi ekonomi negara-negara berkembang yang mewakili lebih dari 40 persen populasi dunia dan hampir seperempat produk domestik bruto (PDB) global.
Dengan Indonesia bergabung sebagai anggota baru, BRICS memperkuat posisi sebagai kekuatan ekonomi alternatif terhadap dominasi negara maju.
“Keanggotaan Indonesia di dalam BRICS merupakan langkah strategis untuk memperluas kerja sama internasional, terutama dalam pengembangan industri, investasi teknologi, dan penguatan rantai pasok global,” ujar Agus dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Selasa (20/5/2025).
Keikutsertaan Indonesia dalam BRICS membuka peluang dan berdampak positif bagi Indonesia, termasuk di sektor ekonomi, diplomasi, dan keuangan.
Dari sisi ekonomi, BRICS dapat membuka akses pasar lebih luas, akses pendanaan dari New Development Bank (NDB), dan diversifikasi mitra dagang.
Sementara secara diplomasi, BRICS menjadi platform untuk memperjuangkan reformasi ekonomi global serta memperkuat posisi Indonesia di panggung internasional.
Kemudian, secara keuangan, BRICS dapat membantu mengurangi ketergantungan pada dollar AS dan menciptakan sistem finansial alternatif.
Agus melanjutkan, keterlibatan Indonesia dalam BRICS dapat membuka peluang besar untuk mendorong transformasi industri dalam negeri menuju industri 4.0. Hal ini sejalan dengan peta jalan Making Indonesia 4.0.
“Indonesia berkomitmen dalam memajukan transformasi digital, smart manufacturing, dan otomatisasi industri guna meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional. Hal ini sejalan dengan semangat BRICS dalam memperkuat kerja sama teknologi dan inovasi,” tegasnya.
Agus menambahkan, pemerintah mendorong penguatan sektor industri utama melalui inovasi teknologi, percepatan pengembangan industri hijau yang berkelanjutan, serta membangun rantai pasok yang inklusif dan kuat.
Selain sektor industri besar, Agus juga menekankan signifikansi dukungan terhadap industri kecil dan menengah (IKM). Melalui kolaborasi BRICS, Indonesia akan memperluas akses pelaku IKM terhadap teknologi digital dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk meningkatkan efisiensi produksi dan penetrasi pasar.
“Digitalisasi dan AI tidak hanya milik industri besar. IKM kita harus bisa mengakses teknologi ini agar tidak tertinggal. Inilah peran penting kerja sama dalam BRICS untuk memperkecil kesenjangan teknologi,” ungkapnya.
Potensi bioindustri dan ekonomi sirkular
Agus turut menyoroti potensi besar Indonesia di sektor bioindustri dan ekonomi sirkular. Dengan kekayaan hayati dan sumber daya alam (SDA) terbarukan, Indonesia dapat menjadi pemasok bioindustri global.
“Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi lumbung bioindustri dunia. Kerja sama dengan BRICS dapat mempercepat pengembangan teknologi bioindustri dan mendorong ekonomi sirkular yang ramah lingkungan,” kata Agus.
Pihaknya juga menegaskan bahwa BRICS menjadi wahana penting bagi Indonesia untuk memperkuat posisi industri nasional dalam perekonomian global yang berkelanjutan, inklusif, dan berbasis inovasi.
“Secara global, posisi Indonesia dalam industri manufaktur menunjukkan capaian yang membanggakan melalui skor manufacturing value added (MVA),” imbuhnya.
Merujuk data World Bank, MVA Indonesia mencapai 255,96 miliar dollar AS pada 2023. Capaian ini menempatkan Indonesia di peringkat keempat sebagai negara yang memiliki nilai MVA terbesar dari anggota BRICS setelah China (4.658,79 miliar dollar AS), India (461,38 miliar dollar AS), dan Brasil (289,79 miliar dollar AS).
Sementara itu, negara anggota BRICS lain dengan MVA di bawah Indonesia adalah Rusia sebesar 251,58 miliar dollar AS, disusul Iran (78,54 miliar dollar AS), Mesir (59 miliar dollar AS), Uni Emirat Arab (55,76 miliar dollar AS), Afrika Selatan (49,35 miliar dollar AS), dan Ethiopia (7,33 miliar dollar AS).
Di kawasan Asia, posisi Indonesia menempati urutan ke-5 setelah China, Jepang, India, dan Korea Selatan (Korsel).
Untuk kawasan ASEAN, Indonesia menduduki posisi teratas, melampaui Thailand dan Vietnam.