Advertorial

KRIS di Program JKN Masih Menuai Polemik, DJSN Serap Masukan dari Berbagai Pihak

Kompas.com - 22/05/2025, 20:30 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyelenggarakan audiensi dengan sejumlah pihak terkait Peraturan Presiden (PP) Nomor 59 Tahun 2024 di Fraser Residence Menteng, Jakarta, Rabu (21/5/2025).

Untuk diketahui, Perpres tersebut mengatur tentang penerapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) bagi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Kesehatan).

Penerapan sistem itu pada rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan diproyeksikan terealisasi paling lambat 30 Juni 2025.

Meski begitu, rencana realisasi kebijakan tersebut dinilai masih belum sepenuhnya tepat sehingga menimbulkan polemik dari berbagai pihak.

Maka dari itu, audiensi diadakan sebagai wadah aspirasi agar dapat mencari jalan keluar dari masalah tersebut.

Ketua Koordinator Forum Jaminan Sosial Nasional (Jamsos) Jusuf Rizal mengatakan, pihaknya menolak konsep KRIS satu ruang perawatan lantaran bertentangan dengan prinsip keadilan.

Ia juga meminta kepada Presiden Prabowo Subianto agar mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang menyangkut jaminan sosial.

"Kami menolak ide gagasan KRIS yang mana satu ruang perawatan karena bertentangan dengan prinsip keadilan. Terlebih, jika manfaat yang selama ini dinikmati oleh pekerja yang terdaftar di JKN kelas 1 dan kelas 2 harus diturunkan akibat penerapan KRIS satu ruang perawatan," ujar Jusuf yang ditemui awak media, termasuk Kompas.com usai audiensi, Rabu.

Jusuf menambahkan, kebijakan tersebut juga akan menambah beban biaya yang sangat besar bagi BPJS Kesehatan sehingga dapat mengurangi anggaran yang telah dialokasikan.

Sebaliknya, dia meminta agar dana yang telah dialokasikan di BPJS Kesehatan lebih difokuskan pada peningkatan pelayanan yang sudah ada.

Sementara itu, Ketua DJSN Nunung Nuryartono menjelaskan bahwa Serikat Buruh juga menyampaikan sejumlah hal penting.

Salah satunya, terkait keberatan dalam pasal 46 ayat 7 dalam Perpres Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 mengenai Jaminan Kesehatan.

Pasal tersebut mengatur tentang fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap, seperti sarana dan prasarana, jumlah tempat tidur, dan peralatan yang diberikan.

Ketua DJSN Nunung Nuryartono (tengah) mengaku siap menampung semua aspirasi dari berbagai pihak terkait KRIS. Dok. Istimewa Ketua DJSN Nunung Nuryartono (tengah) mengaku siap menampung semua aspirasi dari berbagai pihak terkait KRIS.

"Kami sebagai dewan yang diberikan tugas dan amanah oleh undang-undang akan menerima setiap masukan oleh seluruh pemangku kepentingan. (Seluruh masukan) ini (berguna) untuk semakin meningkatkan mutu layanan perbaikan dan sistem perlindungan sosial di Indonesia, khususnya jaminan sosial," kata Nunung.

Fokus ke masalah lain

Meski penerapan KRIS sudah di depan mata, sebagian pihak menilai konsep kebijakan itu masih belum jelas dan kurang transparan.

Dalam kesempatan terpisah, Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar mengungkapkan bahwa penyusunan aturan tersebut terlalu sunyi dan tidak melibatkan peran masyarakat sama sekali.

Tak hanya itu, proses penyusunannya juga dinilai tidak mengacu pada perundang-undangan yang berlaku.

“Jika KRIS diterapkan, jumlah tempat tidur bagi pasien JKN akan menyusut. Saat ini saja sudah sulit mencari tempat tidur. Bagaimana jika KRIS satu ruang perawatan benar-benar diberlakukan? Seharusnya KRIS tidak hanya satu ruang perawatan, tapi juga harus disediakan alternatif kelas lainnya,” terang Timboel.

Mengenai kondisi lapangan, Timboel juga menilai banyak rumah sakit dan tenaga kesehatan yang belum siap menerapkan KRIS satu ruang perawatan.

Ia juga menyoroti tak adanya regulasi yang mewajibkan KRIS harus menggunakan satu kelas perawatan.

Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus meningkatkan kualitas layanan jaminan kesehatan bagi pekerja, bukan justru mengambil langkah sepihak yang justru menurunkan manfaat jaminan kesehatan. Utamanya, bagi para pekerja.

“Menteri Kesehatan (Menkes) Budi seharusnya lebih produktif dalam memberikan komentar. Sekarang sudah banyak kegaduhan. Jadi, jangan tambah masalah baru,” katanya.

Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan (FSP KEP) KSPI, Sahat Butar Butar.

Sahat menilai, penerapan KRIS satu kelas merupakan bentuk paksaan pemerintah terhadap rakyat.

Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk berpikir ulang mengenai kebijakan tersebut.

“Dengan sistem tiga kelas saja, banyak masyarakat yang sudah mengantre di rumah sakit. Bagaimana kalau diterapkan satu kelas perawatan? Jika dipaksakan, kami siap melakukan aksi,” kata Sahat.

Penolakan juga datang dari pengamat perlindungan konsumen dan kebijakan publik sekaligus penggagas Forum Konsumen Indonesia (FKI), Tulus Abadi.

Tulus turut mempertanyakan kehadiran KRIS sebagai mandat regulasi secara langsung atau justru penafsiran sepihak pemerintah.

Pasalnya, dalam perundang-undangan dan regulasi yang ada, tidak ada satu kata pun yang secara eksplisit menyebutkan adanya penghapusan variasi kelas rawat inap 1, 2, dan 3 bagi peserta JKN.

“Ini jadi kebijakan yang anomali. Seharusnya setiap kebijakan yang digulirkan mengacu pada kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi publik. Lalu, kebijakan KRIS ini mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan siapa? Pemerintah harus satu suara dalam menerapkan KRIS dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dan seluruh segmen peserta JKN,” ujar Tulus.

Tulus menambahkan, penerapan KRIS satu kelas rawat berpotensi ditunggangi asuransi kesehatan swasta.

Jika KRIS diterapkan, asuransi kesehatan swasta akan untung banyak dengan menjaring potensi pasar dari peserta JKN kelas 1 dan 2 yang tidak mau dirawat inap di salah satu ruang kelas perawatan.

Sementara, jika dilihat dari kacamata peserta JKN, penerapan KRIS merugikan peserta, khususnya kelas 3. Ini lantaran mereka akan dipaksa membayar iuran lebih besar.

Tidak hanya masyarakat, finansial pemerintah juga dinilainya akan ikut terbebani karena harus mengatrol iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) kelas 3 yang mana jumlahnya mendominasi proporsi total peserta JKN.

Bahkan, anggaran daerah pun akan ikut kena imbas dan berdampak pada pengurangan kuota peserta JKN yang ditanggung pemerintah daerah (PBPU Pemda).

Akibatnya, kuota peserta PBPU Pemda akan dikurangi sehingga lagi-lagi masyarakat yang harus merasakan dampak secara langsung.

“Menunda implementasi KRIS dengan konsep satu kelas per Juli 2025 adalah opsi yang paling adil dan rasional. Tunda sampai ada titik temu mengenai konsep KRIS yang disepakati oleh seluruh pihak. Utamanya, pihak yang mengakomodasi kepentingan rumah sakit dan masyarakat sebagai peserta JKN,” tegas Tulus.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau