Advertorial

Momentum Bulan Bung Karno, DPRD Surabaya Galakkan Ketahanan Pangan

Kompas.com - 17/06/2025, 18:18 WIB

KOMPAS.com – Bagi Kota Surabaya, Jawa Timur, Juni merupakan bulan penuh makna historis dan ideologis yang mendalam.

Sebab, tiga peristiwa penting yang menandai perjalanan hidup proklamator, pemikir bangsa, sekaligus Presiden Pertama Republik Indonesia Soekarno–yang lahir di Surabaya—terjadi di bulan ini.

Pertama, 1 Juni 1945 merupakan hari lahir Pancasila. Kedua, 6 Juni 1901 merupakan hari kelahiran Soekarno di Surabaya. Ketiga, 21 Juni 1970 menjadi hari Bung Karno mengembuskan napas terakhir.

Menurut Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya Adi Sutarwijono, Juni adalah momen reflektif. Bukan hanya untuk mengenang Bung Karno, melainkan juga untuk mewarisi “api perjuangannya”.

“Bung Karno meninggalkan api perjuangan, bukan abunya. Api itu harus dihidupkan kembali dalam kerja nyata untuk rakyat,” ujarnya dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Selasa (17/6/2025).

Salah satu semangat yang diwariskan Bung Karno dan kini dihidupkan kembali adalah kedaulatan pangan.

Dalam pidatonya di kampus IPB Bogor, Minggu (27/4/1952), Bung Karno menyatakan secara tegas bahwa urusan pangan adalah soal hidup matinya suatu bangsa.

Gagasan tersebut kini diterjemahkan ke dalam kebijakan konkret Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Salah satunya, melalui pemanfaatan lahan tidur menjadi lahan pertanian produktif.

Contohnya dapat dilihat di Kelurahan Tambak Wedi, Kecamatan Kenjeran. Lahan seluas 1,2 hektare yang sebelumnya terbengkalai, kini menjadi sumber kehidupan baru bagi warga lewat sistem pertanian kota (urban farming).

Beragam tanaman ditanam di sana, mulai dari jagung, ketela, sawi, pisang, cabai, hingga ternak larva lalat (maggot) yang dikembangkan dari sisa makanan.

Menurut Ketua Kelompok Tani Nandur Makmur, Suyono, hasil panen jagung di lahan tersebut mencapai 6,5 ton pada 2025.

“Kami memulai sejak 2023. Lahan ini jadi ladang penghidupan baru pascapandemi,” ujarnya.

Suyono menjelaskan, program urban farming di Tambak Wedi bukan sekadar proyek pertanian kota, melainkan juga menjadi simbol gotong royong warga.

“Kami dibantu TNI, Polri, serta didampingi Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian. Kami bahkan menggunakan traktor untuk mengolah tanah,” tambah Suyono yang merupakan petani generasi ketiga di keluarganya.

Tak hanya tanaman, program urban farming di Tambak Wedi juga memanfaatkan sisa-sisa makanan sebagai pakan untuk beternak maggot. Ternak ini pun memiliki potensi bisnis yang tinggi.

“Kami olah limbah buah, seperti waluh, garbis, dan mangga. Hasilnya luar biasa,” ungkap salah satu peternak maggot, Pipit.

Menurut Adi, pelaksanaan urban farming di Surabaya kini telah berkembang lebih modern. Tidak hanya mengandalkan pola konvensional, tetapi juga mulai mengadopsi hidroponik, akuaponik, kebun atap, dan kebun vertikal.

“Semua menyesuaikan dengan keterbatasan lahan di kota,” jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya pertanian berbasis komunitas yang mampu menyuplai kebutuhan pangan rumah tangga sekaligus membangun kemandirian ekonomi warga.

“Lahan kosong jangan dibiarkan mati, harus menjadi sumber kehidupan,” ujar Adi.

Hal tersebut sejalan dengan visi Adi yang ingin Kota Surabaya tidak hanya menjadi pusat perdagangan dan industri, tetapi juga menjadi kota mandiri pangan.

“Kami tidak boleh bergantung sepenuhnya pada suplai luar. Minimal, kebutuhan (pangan) dasar, seperti sayuran, cabai, dan umbi-umbian bisa dipenuhi sendiri,” kata Adi.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau