KOMPAS.com – Bagi Kota Surabaya, Jawa Timur, Juni merupakan bulan penuh makna historis dan ideologis yang mendalam.
Sebab, tiga peristiwa penting yang menandai perjalanan hidup proklamator, pemikir bangsa, sekaligus Presiden Pertama Republik Indonesia Soekarno–yang lahir di Surabaya—terjadi di bulan ini.
Pertama, 1 Juni 1945 merupakan hari lahir Pancasila. Kedua, 6 Juni 1901 merupakan hari kelahiran Soekarno di Surabaya. Ketiga, 21 Juni 1970 menjadi hari Bung Karno mengembuskan napas terakhir.
Menurut Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya Adi Sutarwijono, Juni adalah momen reflektif. Bukan hanya untuk mengenang Bung Karno, melainkan juga untuk mewarisi “api perjuangannya”.
“Bung Karno meninggalkan api perjuangan, bukan abunya. Api itu harus dihidupkan kembali dalam kerja nyata untuk rakyat,” ujarnya dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Selasa (17/6/2025).
Salah satu semangat yang diwariskan Bung Karno dan kini dihidupkan kembali adalah kedaulatan pangan.
Dalam pidatonya di kampus IPB Bogor, Minggu (27/4/1952), Bung Karno menyatakan secara tegas bahwa urusan pangan adalah soal hidup matinya suatu bangsa.
Gagasan tersebut kini diterjemahkan ke dalam kebijakan konkret Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Salah satunya, melalui pemanfaatan lahan tidur menjadi lahan pertanian produktif.
Contohnya dapat dilihat di Kelurahan Tambak Wedi, Kecamatan Kenjeran. Lahan seluas 1,2 hektare yang sebelumnya terbengkalai, kini menjadi sumber kehidupan baru bagi warga lewat sistem pertanian kota (urban farming).
Beragam tanaman ditanam di sana, mulai dari jagung, ketela, sawi, pisang, cabai, hingga ternak larva lalat (maggot) yang dikembangkan dari sisa makanan.
Menurut Ketua Kelompok Tani Nandur Makmur, Suyono, hasil panen jagung di lahan tersebut mencapai 6,5 ton pada 2025.
“Kami memulai sejak 2023. Lahan ini jadi ladang penghidupan baru pascapandemi,” ujarnya.
Suyono menjelaskan, program urban farming di Tambak Wedi bukan sekadar proyek pertanian kota, melainkan juga menjadi simbol gotong royong warga.
“Kami dibantu TNI, Polri, serta didampingi Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian. Kami bahkan menggunakan traktor untuk mengolah tanah,” tambah Suyono yang merupakan petani generasi ketiga di keluarganya.
Tak hanya tanaman, program urban farming di Tambak Wedi juga memanfaatkan sisa-sisa makanan sebagai pakan untuk beternak maggot. Ternak ini pun memiliki potensi bisnis yang tinggi.
“Kami olah limbah buah, seperti waluh, garbis, dan mangga. Hasilnya luar biasa,” ungkap salah satu peternak maggot, Pipit.
Menurut Adi, pelaksanaan urban farming di Surabaya kini telah berkembang lebih modern. Tidak hanya mengandalkan pola konvensional, tetapi juga mulai mengadopsi hidroponik, akuaponik, kebun atap, dan kebun vertikal.
“Semua menyesuaikan dengan keterbatasan lahan di kota,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya pertanian berbasis komunitas yang mampu menyuplai kebutuhan pangan rumah tangga sekaligus membangun kemandirian ekonomi warga.
“Lahan kosong jangan dibiarkan mati, harus menjadi sumber kehidupan,” ujar Adi.
Hal tersebut sejalan dengan visi Adi yang ingin Kota Surabaya tidak hanya menjadi pusat perdagangan dan industri, tetapi juga menjadi kota mandiri pangan.
“Kami tidak boleh bergantung sepenuhnya pada suplai luar. Minimal, kebutuhan (pangan) dasar, seperti sayuran, cabai, dan umbi-umbian bisa dipenuhi sendiri,” kata Adi.