KOMPAS.com — Industri seni pertunjukan Indonesia terus mengalami perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Hal itu dibuktikan melalui banyaknya komunitas teater baru dan panggung yang dipenuhi oleh beragam pertunjukan musikal, mulai dari panggung pertunjukan jalanan hingga yang berlisensi resmi.
Namun, di balik geliat tersebut, terdapat celah gelap yang membayangi dunia seni pertunjukkan Indonesia, yakni praktik korupsi yang menghimpit ruang gerak para seniman untuk berkarya dengan bebas dan bermartabat.
Berdasarkan keterangan Ketua Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango, sepanjang lima bulan pertama 2024, KPK telah menangani 93 kasus tindak pidana korupsi dengan 100 tersangka.
Sementara itu, data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa sedikitnya 138 peserta Pilkada 2024 diduga terlibat dalam kasus korupsi.
Di tengah sorotan terhadap angka tersebut, industri seni pertunjukan justru luput dari perhatian publik. Padahal, sektor tersebut merupakan bagian krusial dalam ekosistem ekonomi kreatif Indonesia.
Sayangnya, praktik korupsi yang terjadi di dalamnya sering kali berdampak langsung pada para pelaku seni.
Mereka harus menghadapi berbagai keterbatasan akibat ketidakadilan sistem, mulai dari maraknya pungutan liar hingga rendahnya integritas sejumlah pihak yang semestinya menjadi penggerak kemajuan dunia seni.
Melihat fenomena itu, mahasiswa Program Studi Performing Arts Communication LSPR Institute of Communication and Business turut menyuarakan keprihatinan mereka melalui karya kreatif berupa film pendek musikal berjudul Karya untuk Negeri.
Film tersebut diproduksi oleh Waka Waka Production dan menjadi bentuk ekspresi sekaligus kritik terhadap praktik korupsi yang membelit dunia seni pertunjukan.
Dengan durasi 45 menit, Karya untuk Negeri melibatkan 20 pemeran dan 60 kru profesional lintas disiplin.
Penayangan perdananya berlangsung di CGV Central Park, Jakarta, Kamis (3/7/2025), dan disaksikan langsung oleh 300 tamu undangan.
Sinopsis Karya untuk Negeri
Karya untuk Negeri mengangkat kisah Diandra (21), seorang seniman muda idealis yang bertekad menggelar pertunjukan teater bersama anak-anak dari rumah singgah.
Namun, impiannya tak berjalan mulus. Ia harus menghadapi kenyataan pahit berupa birokrasi yang sarat pungutan liar dan tekanan dari sistem yang korup.
Konflik semakin rumit ketika Adrian (28), kekasih Diandra yang bekerja sebagai jurnalis, menyarankan agar mereka menyesuaikan diri dengan situasi demi kelangsungan pertunjukan.
Saran itu memicu dilema moral yang mengguncang hubungan keduanya sekaligus menguji batas kompromi antara cinta, idealisme, dan integritas.
Singkatnya, dalam dunia seni yang penuh tantangan, cerita Diandra dalam Karya untuk Negeri seakan mempertanyakan apakah mimpi bisa diwujudkan tanpa mengorbankan prinsip?
Penulis sekaligus Sutradara Musikal Karya untuk Negeri Amelia Angeliqa Hadinata menjelaskan bahwa proses pembuatan film ini penuh dengan perjuangan.
Selain menjadi ruang untuk kritik sosial, film tersebut juga dirancang sebagai medium kolaboratif yang inklusif.
Dalam proses produksinya, Waka Waka Production menggandeng anak-anak dari Taman Anak Pesisir, sebuah komunitas belajar dan seni yang berbasis di kawasan pesisir Pantai Wika, Kalibaru, Jakarta Utara.
Di bawah pendampingan Pendiri Yayasan Sanggar Seni Trotoar, Aceng Gimbal, anak-anak itu telah terbiasa tampil dalam teater jalanan bertema sosial yang kini turut memperkaya narasi dan semangat film.
“Bagi kami, karya ini bukan sekadar tugas akhir semata, melainkan bentuk nyata dari cinta kami terhadap seni. Kami sebagai generasi muda tidak ingin hanya diam. Kami ingin industri kreatif di Indonesia bertumbuh, diberi ruang, dan dihargai. Kami ingin para seniman muda bisa punya kesempatan untuk bersinar,” ujar Amelia dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (10/7/2025).
Dosen pembimbing Amelia Mikhael Yulius Cobis, MSi, MM, menilai bahwa Karya untuk Negeri lahir dari proses panjang.
Menurutnya, film itu tidak hanya menonjol dari sisi artistik, tetapi juga mencerminkan kedewasaan berpikir, kemampuan kolaboratif, serta keberanian menyuarakan gagasan kritis.
Ia juga mengapresiasi peran Angel, Ester, dan Cecil sebagai produser, yang menunjukkan semangat generasi muda dalam mengambil peran aktif untuk mendorong pertumbuhan ekosistem kreatif di Indonesia.
“Selama proses pendampingan, saya menyaksikan berbagai dinamika, mulai dari tantangan teknis, konflik gagasan, hingga pencarian bentuk artistik yang paling sesuai dengan nilai yang ingin mereka sampaikan. Namun, semua itu dihadapi dengan sikap reflektif dan tekad yang kuat,” ucap Mikhael.
Mikhael berharap, karya anak didiknya tidak hanya menjadi capaian akademik, tetapi juga bisa menjadi inspirasi bagi mahasiswa lain dan generasi muda secara luas untuk terus berkarya, menyampaikan gagasan melalui medium seni, dan tetap konsisten memperjuangkan ruang kreatif yang inklusif dan berkelanjutan.
Karya untuk Negeri bukan sekadar hiburan musikal, tetapi juga sebuah pernyataan sosial yang menyoroti realitas pahit di balik layar industri seni, seperti praktik korupsi, birokrasi yang menyulitkan, dan rendahnya integritas yang kerap membelenggu para pelaku seni muda.
Lewat narasi tokoh Diandra dan Adrian, film itu menggugah penonton untuk mempertanyakan apakah karya harus tunduk pada sistem yang tidak adil?
Sebagai bagian dari misi menyuarakan perubahan, film Karya untuk Negeri akan dipublikasikan secara luas melalui platform digital YouTube dan Spotify.
Dengan begitu, film tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat luas, khususnya generasi muda dan komunitas seni di seluruh Indonesia.