KOMPAS.com – “Kayaknya aku depresi, deh.” Kalimat ini mungkin terdengar akrab. Muncul dari teman, rekan kerja, anggota keluarga, atau bahkan dari diri sendiri.
Di tengah banjir informasi digital, tak sedikit orang merasa sudah cukup memahami kondisi mental hanya dengan membaca artikel daring, menonton video di media sosial (medsos), atau mengikuti kuis yang sedang tren di TikTok.
Di satu sisi, kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental memang meningkat. Namun, bersamaan dengan itu, muncul juga fenomena self-diagnosis atau menyimpulkan kondisi psikologis diri sendiri tanpa melalui konsultasi dengan profesional.
Artikel yang disusun Ahmed dan Samuel (2017) menjelaskan, self-diagnosis adalah penilaian pribadi terhadap kondisi mental berdasarkan informasi yang dikumpulkan sendiri.
Masalahnya, hal yang terasa cocok dengan apa yang dialami belum tentu tepat dari segi klinis. Hal ini dapat menjadi masalah serius.
Sementara itu, penelitian Ismail dkk. (2023) mengungkap bahwa rendahnya pemahaman masyarakat tentang isu kesehatan mental berkontribusi besar terhadap tren ini.
Banyak orang dengan mudah mengeklaim dirinya mengalami depresi, gangguan kecemasan, bahkan bipolar, tanpa penilaian objektif dari psikolog atau psikiater.
Padahal, diagnosis yang keliru dapat memunculkan konsekuensi negatif. Seseorang dapat merasa semakin cemas atau tidak berdaya karena percaya pada label yang ia buat sendiri.
Padahal, bisa saja kondisi tersebut hanya tekanan emosional sesaat, kelelahan akibat pekerjaan, atau perasaan sedih yang wajar.
Mengenali gejala bukan berarti kita bisa langsung menyimpulkan diagnosis. Di sinilah pentingnya literasi kesehatan mental. Tak cukup hanya mengetahui istilah gangguan mental, kita juga perlu tahu kapan waktu yang tepat untuk meminta bantuan tenaga ahli.
Adapun Jorm (2012) menyebutkan bahwa literasi mental yang sehat meliputi kemampuan mengenali gangguan psikologis dan menentukan langkah penanganannya. Sama seperti tubuh yang sakit perlu ditangani dokter, pikiran yang terganggu pun memerlukan perhatian profesional.
Hal itu ditegaskan pula oleh Tambling dkk. (2023) yang menulis bahwa penanganan gangguan mental secara mandiri berisiko menimbulkan dampak yang lebih besar. Konsultasi dengan psikolog atau psikiater tetap menjadi cara paling efektif dan aman.
Bila kamu merasa sedang tidak baik-baik saja, kamu tak harus menebak-nebak sendiri ataupun melakukan self-diagnosis.
Unit Konsultasi Psikologi Universitas Gadjah Mada (UKP UGM) hadir untuk menemani siapa saja yang ingin mengenal dirinya lebih dalam tanpa asumsi, tanpa penghakiman, dan dengan pendekatan berbasis keilmuan.
Dengan dukungan psikolog profesional, UKP UGM menyediakan ruang aman untuk berdiskusi dan memahami diri secara utuh.
Untuk mengakses layanan serta dukungan psikologi dengan mudah, kamu dapat menghubungi UKP melalui WhatsApp di nomor 085759161581 atau mengunjungi Instagram @ukpugm.
Untuk informasi lengkap seputar konsultasi UKP UGM, klik tatuan berikut.