KOMPAS.com – Komunikasi tidak hanya bermakna tentang banyaknya kata yang terucap, tetapi juga seberapa banyak mendengar.
Rizal dan Sarah sudah dua tahun menikah. Mereka tinggal di rumah dan tidur di kamar yang sama, dengan masing-masing menjalani rutinitas yang saling bersinggungan. Namun, rumah tersebut terasa sunyi sejak keduanya bertengkar dua bulan lalu.
Emosi mereka kini memang telah mereda, amarah perlahan padam, bahkan ingatan tentang konflik itu mulai memudar. Meski begitu, ada sesuatu yang hilang. Percakapan Rizal dan Sarah sekarang hanya soal jadwal pulang, menu makan malam, atau kebutuhan rumah tangga.
Selain itu, tak ada lagi obrolan ringan yang mengalir dan candaan yang menyambung antara mereka. Semuanya menjadi fungsional, praktis, tapi hambar. Kondisi ini sangat berbeda jika dibandingkan saat Rizal dan Sarah masih berpacaran.
Sering kali terdengar kalimat bahwa pernikahan sebagian besar isinya adalah obrolan. Namun, bagaimana jika obrolan justru menjadi hal yang paling sulit dilakukan dalam pernikahan?
Dalam tulisan Nyarks dan Hope pada 2022, disebutkan bahwa komunikasi bukan sekadar bertukar kata. Komunikasi adalah tentang cara seseorang mendengar, merespons, dan hadir secara utuh dalam percakapan.
Penelitian Haris dan Kumar (2018) dan Kim (2019) juga menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif berkorelasi dengan kualitas hubungan yang lebih tinggi. Komunikasi yang baik akan meningkatkan rasa percaya, keintiman, dan kepuasan dalam pernikahan.
Sayangnya, menjaga komunikasi tetap sehat bukan perkara mudah. Data Badan Pusat Statistik tahun 2024 mencatat, lebih dari 62 persen perceraian di Indonesia disebabkan oleh pertengkaran dan perselisihan terus-menerus.
Banyak pasangan pada akhirnya memilih diam, bukan karena tidak peduli, melainkan karena tidak tahu harus memulai komunikasi dari mana. Padahal, menghindari komunikasi justru menciptakan jarak emosional yang makin sulit dijembatani.
Esere dan Oladun pada 2014 menyebutkan, komunikasi yang sehat memberi ruang untuk perasaan, pemikiran, dan harapan tanpa harus menyakiti satu sama lain. Oleh karena itu, pasangan memerlukan ruang aman untuk belajar kembali berbicara tanpa menyakiti dan mendengar tanpa menghakimi.
Salah satu bentuk dukungan profesional yang dapat dimanfaatkan adalah Layanan Pasangan, Rumah Tangga, dan Pernikahan dari Unit Konsultasi Psikologi Universitas Gadjah Mada (UKP UGM).
Layanan tersebut ditangani oleh para psikolog berpengalaman dengan pendekatan berbasis ilmiah. Fokus utamanya adalah membantu pasangan memahami dinamika hubungan secara lebih mendalam.
Layanan Layanan Pasangan, Rumah Tangga, dan Pernikahan UKP UGM terbuka, baik untuk pasangan yang sedang menghadapi tantangan maupun mereka yang ingin membangun fondasi komunikasi yang lebih kokoh.
Mengikuti konseling bukanlah tanda bahwa hubungan telah gagal. Sebaliknya, konseling merupakan langkah sadar untuk merawat hubungan melalui kehadiran, empati, dan keinginan untuk tumbuh bersama.
Informasi lebih lanjut mengenai layanan pasangan dan keluarga dapat diakses melalui WhatsApp di nomor (+62) 857-5916-1581, akun Instagram @ukpugm, atau laman resmi UKP di ukp.psikologi.ugm.ac.id.