KOMPAS.com - Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah berjalan lebih dari satu dekade. Meski demikian, banyak orang masih belum memahami sistem pembiayaan layanan kesehatan dalam program ini.
Terdapat dua istilah yang kerap muncul dan disalahartikan masyarakat, yakni kapitasi dan Indonesia Case-Based Groups (INA-CBG). Padahal, keduanya merupakan komponen penting dalam mekanisme pembiayaan layanan kesehatan peserta JKN.
Kepala Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Rizzky Anugerah menyampaikan, perbedaan antara kapitasi dan INA-CBG mencakup cara pembayaran, jenis layanan, serta fasilitas kesehatan yang menerima pembayaran.
Kapitasi merupakan skema pembayaran di muka yang diberikan kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) setiap bulan, seperti puskesmas, klinik pratama, atau praktik dokter mandiri.
“Nilai pembayaran ditentukan berdasarkan jumlah peserta JKN yang terdaftar tanpa memperhitungkan frekuensi kunjungan atau jenis layanan medis yang diberikan,” jelas Rizzky dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (25/7/2025).
Rizzky menambahkan, FKTP tetap menerima pembayaran dari BPJS Kesehatan, meski peserta tidak datang berobat.
Selain itu, FKTP bertanggung jawab memberikan layanan terbaik yang meliputi layanan promotif dan preventif serta pengelolaan penyakit kronis melalui program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) dan Program Rujuk Balik (PRB).
Ia pun mengklarifikasi isu bahwa BPJS Kesehatan hanya membayar dokter Rp 2.000 untuk setiap pasien yang dilayani. Adapun besaran tarif kapitasi telah diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023.
“Adapun pembagian jasa medis dokter dan tenaga medis kesehatan lain merupakan kewenangan faskes," katanya.
Rizzky melanjutkan bahwa saat ini, sistem kapitasi telah dikembangkan menjadi Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK). Dalam skema ini, FKTP yang menunjukkan kinerja baik akan mendapatkan insentif tambahan.
Penilaian kinerja dilakukan berdasarkan sejumlah indikator, seperti seberapa aktif FKTP menjalin kontak dengan peserta, baik saat sehat maupun sakit.
Selanjutnya, efektivitas dalam mengendalikan tingkat rujukan yang seharusnya cukup ditangani di FKTP. Sebagai contoh, keberhasilan FKTP dalam mengelola pasien diabetes melitus dan hipertensi agar tetap terkendali juga masuk penilaian.
FKTP yang mampu mencapai indikator tersebut berhak mendapatkan insentif hingga 110 persen dari tarif kapitasi standar. Pemberian inisiatif ini bertujuan mendorong FKTP untuk menjalankan fungsinya sebagai gerbang pertama layanan kesehatan, bukan sekadar tempat berobat.
"Semakin banyak peserta yang sehat, FKTP makin untung. Kami berharap, inisiatif ini bisa memacu semangat FKTP untuk menggalakkan upaya promotif preventif," kata Rizzky.
Berbeda dengan kapitasi, sistem INA-CBG diterapkan di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL), seperti rumah sakit. Kementerian Kesehatan mengatur besaran tarif sistem ini berdasarkan paket layanan yang disesuaikan dengan diagnosis dan tindakan medis.
Adapun BPJS Kesehatan berperan sebagai pihak yang melakukan verifikasi klaim sebelum dana dibayar ke pihak rumah sakit.
Rizzky memaparkan, pembayaran INA-CBG berdasarkan layanan yang diberikan rumah sakit kepada peserta JKN.
“Skema ini diterapkan sesuai karakteristik pelayanan di rumah sakit yang menangani kasus medis spesialistik atau membutuhkan penanganan lebih lanjut,” tuturnya,
Jika semua penyakit harus ditangani di rumah sakit, kata Rizzky, tidak hanya biaya semakin membengkak, tapi juga berisiko menimbulkan antrean panjang dan menurunkan kualitas pelayanan.
Oleh karena itu, FKTP diposisikan sebagai garda terdepan untuk penanganan awal. Sementara itu, rumah sakit difokuskan untuk menangani kasus yang membutuhkan penanganan lanjutan sesuai indikasi medis.
Rizzky menambahkan, rujukan hanya dilakukan bila FKTP tidak mampu menangani kondisi pasien berdasarkan kebutuhan medis, bukan keinginan pribadi atau pertimbangan biaya.
Hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perseorangan.
Selain itu, rumah sakit juga terbagi menjadi beberapa kelas, yakni kelas A, B, C, dan D. Pengklasifikasian ini berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit yang telah ditetapkan pemerintah.
“Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah telah membangun sistem pelayanan kesehatan secara terstruktur agar dapat berjalan optimal,” tutur Rizzky.