Advertorial

Hadapi Ancaman Gempa Megathrust, Pooling Fund Bencana Jadi Solusi Inovatif

Kompas.com - 23/09/2025, 15:51 WIB

KOMPAS.com - Indonesia tengah bersiaga menghadapi ancaman gempa besar menyusul meningkatnya aktivitas pada sejumlah sesar megathrust di Tanah Air.

Beberapa sesar kritis, seperti Lembang, Cimandiri, dan Baribis di Jawa Barat; Sesar Mentawai-Siberu di Sumatera; serta Sesar Anjak Weyland di Papua, menunjukkan peningkatan aktivitas mikro-seismik yang cukup signifikan dalam beberapa bulan terakhir.

Kekhawatiran publik kian menguat setelah serangkaian gempa mengguncang sejumlah wilayah.

Gempa berkekuatan 4,0 SR yang mengguncang Bogor–Sukabumi pada Sabtu (20/9/2025) dan Minggu (21/9/2025) bahkan diikuti 29 kali gempa susulan. Sehari sebelumnya, gempa berkekuatan 6,5 SR mengguncang Nabire, Papua Tengah.

Nias Barat pun sempat diguncang gempa terkait Megathrust Mentawai-Siberu pada Mei 2025.

Sementara itu, Bekasi juga merasakan getaran gempa 4,5 SR berbarengan dengan gempa di Bogor–Sukabumi.

Menghadapi ancaman bencana yang semakin kompleks dan intensif, Pemerintah Indonesia mengambil langkah inovatif melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan menghadirkan instrumen pembiayaan Dana Bersama Penanggulangan Bencana atau Pooling Fund Bencana (PFB).

Terobosan itu menjadi instrumen pembiayaan sekaligus asuransi risiko bencana pertama di dunia yang dirancang untuk menjawab tantangan pendanaan bencana secara berkelanjutan.

Keputusan strategis tersebut lahir dari kesadaran terhadap kesenjangan besar dalam pendanaan penanggulangan bencana.

Berdasarkan perhitungan Kemenkeu bersama Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Bank Dunia, kebutuhan dana penanggulangan bencana untuk 50 tahun mendatang diproyeksikan mencapai Rp 15-20 triliun per tahun.

Di sisi lain, alokasi dana cadangan bencana melalui APBN hanya mampu menyediakan Rp 5-10 triliun per tahun. Sementara, dana bantuan tidak terduga (BTT) dari APBD juga terbatas. Dalam konteks inilah, PFB hadir sebagai solusi inovatif.

Instrumen tersebut dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) melalui mekanisme Badan Layanan Umum (BLU) yang memberikan fleksibilitas lebih optimal.

Dana yang dihimpun bersumber dari berbagai pihak, mulai dari APBN, APBD, kontribusi donor nasional ataupun internasional, corporate social responsibility (CSR) perusahaan, filantropi, hingga multilateral development banks (MDBs).

Dengan pendekatan diversifikasi sumber pembiayaan tersebut, PFB diharapkan mampu memastikan pengelolaan dana yang lebih berkelanjutan dan tidak bergantung pada satu sumber saja.

Hingga pertengahan 2025, dana PFB telah mencapai Rp 8,1 triliun yang terdiri dari dana pokok senilai Rp 7,3 triliun dan imbal hasil investasi Rp 1,04 triliun.

Dana utama tersebut diinvestasikan pada instrumen jangka menengah dan panjang dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.

Imbal hasil dari investasi inilah yang kemudian disalurkan untuk berbagai kegiatan, mulai dari pra-bencana, darurat bencana, hingga pasca-bencana, baik untuk bencana alam, seperti gempa, tsunami, banjir, dan kekeringan, maupun bencana non-alam, seperti pandemi Covid-19.

Keputusan strategis

Pemilihan BPDLH sebagai pengelola PFB merupakan langkah strategis. Sebagai BLU yang telah berpengalaman mengelola dana lingkungan hidup dan perubahan iklim, BPDLH memiliki kapasitas untuk mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim dengan pengurangan serta mitigasi risiko bencana dalam satu ekosistem berkelanjutan.

Integrasi itu penting mengingat perubahan iklim dan kenaikan suhu global berpotensi mengancam ekonomi kelautan Indonesia yang saat ini bernilai sekitar 256 miliar dollar Amerika Serikat (AS).

Lebih dari sekadar sumber pendanaan darurat, PFB juga dapat dimanfaatkan untuk pembayaran premi asuransi bencana.

Instrumen tersebut dapat melindungi aset pemerintah, misalnya melalui Asuransi Barang Milik Negara (ABMN), serta mendukung asuransi parametrik bagi pemerintah daerah saat bencana terjadi.

Partisipasi pemerintah daerah sendiri memegang peran kunci dalam pengembangan PFB, baik melalui penambahan dana utama maupun dengan pembelian premi asuransi parametrik. Kontribusi ini akan memperkuat rasa kepemilikan PFB di tingkat daerah sekaligus memperluas manfaatnya.

Pendekatan holistik tersebut mencerminkan pemahaman bahwa penguatan kesiapsiagaan dan respons bencana saja tidak cukup.

Untuk mewujudkan resiliensi berkelanjutan, dibutuhkan kombinasi antara pendanaan yang kuat, perlindungan aset, serta kolaborasi lintas sektor dan lintas wilayah.

Direktur Utama BPDLH Joko Tri Haryanto mengatakan, dalam melaksanakan mandatnya, BPDLH menjamin seluruh pengelolaan dana dilakukan dengan bertanggung jawab, akuntabel, earmarking, dan performance based.

“Dengan inovasi ini, Indonesia tidak hanya memperkuat ketahanan nasional terhadap bencana, tetapi juga memposisikan diri sebagai pionir global dalam pengelolaan risiko bencana berkelanjutan,” ujar Joko dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (23/9/2025).

Inovasi instrumen pembiayaan yang mengintegrasikan berbagai alternatif pembiayaan tersebut diharapkan dapat menjadi model bagi negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa di era perubahan iklim yang semakin ekstrem.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau