Advertorial

Pengamat: RUU Pengelolaan Ruang Udara Indonesia Harus Selaras dengan Konvensi Chicago 1944

Kompas.com - 03/10/2025, 17:55 WIB

KOMPAS.com – Pemerintah Indonesia tengah memperkuat pertahanan udara di tengah dinamika geostrategis global.

Salah satu langkah yang diambil adalah dengan pengadaan pesawat tempur terbaru serta pembuatan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara (RUU PRU) yang saat ini sedang dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

RUU itu memunculkan sejumlah kontroversi, terutama terkait pengaturan ruang udara nasional yang akan berinteraksi dengan hukum internasional, sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Chicago 1944.

Dosen Hukum Udara dan Angkasa Fakultas Hukum Universitas Airlangga Adhy Riadhy Arafah mengatakan, meskipun RUU itu bertujuan untuk memperkuat pertahanan udara nasional, pengaturan yang ada di dalamnya bisa berisiko menciptakan kebingungan dengan hukum internasional jika tidak diterapkan dengan hati-hati.

"Ruang udara nasional Indonesia memang memiliki dua kepentingan utama, yakni militer dan sipil. Namun, pengelolaannya harus hati-hati agar tetap selaras dengan hukum internasional," kata Adhy melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (2/10/2025).

Oleh karena itu, lanjutnya, keseimbangan antara kedua aspek tersebut perlu tetap dijaga.

Tantangan pengelolaan ruang udara

Ruang udara Indonesia untuk aktivitas sipil sendiri saat ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

UU tersebut, menurut Adhy, dihadirkan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam UU Penerbangan sebelumnya, yaitu UU Nomor 15 Tahun 1992. UU terdahulu dianggap sudah tidak mampu lagi mengakomodasi perkembangan penerbangan sipil di Indonesia.

"Saat itu, pembentukan UU tersebut memang untuk memastikan keselamatan penerbangan sipil Indonesia tetap terjaga dan konsistensi dengan ketentuan internasional terjaga," jelas Adhy.

Namun, RUU PRU yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan dan sedang dibahas di DPR, Adhy menilai, membuat pengaturan ruang udara terhadap aktivitas sipil kini menjadi lebih kompleks.

"Pengaturan pengelolaan ruang udara untuk aktivitas sipil mestinya merupakan inisiatif dari kementerian yang menangani urusan sipil, dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Hal ini penting untuk memastikan aturan yang dihasilkan tidak hanya konsisten dengan hukum nasional, tetapi juga dengan ketentuan hukum penerbangan sipil internasional," jelasnya.

Kontroversi batas vertikal dalam RUU PRU

Salah satu hal yang paling kontroversial dalam RUU PRU, kata Adhy, adalah penetapan batas vertikal ruang udara Indonesia yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2). RUU ini menetapkan bahwa ruang udara Indonesia memiliki batas vertikal hingga ketinggian 110 km.

Menurut Adhy, penetapan batas vertikal itu merupakan langkah unilateral yang dapat memicu kebingungan dalam hukum internasional.

"Konvensi Chicago tidak menetapkan batas ketinggian vertikal untuk kedaulatan ruang udara suatu negara. Jadi, dengan menetapkan batas 110 km, Indonesia seolah mengikuti langkah unilateral negara-negara, seperti Australia dan Amerika Serikat, yang menetapkan batas ruang udara mereka di ketinggian 100 km," ujarnya.

Ia melanjutkan, kebijakan itu berpotensi menimbulkan ketidakjelasan karena tidak ada kesepakatan internasional yang mengatur soal batas vertikal ruang udara. Serta potensi munculnya pertentangan prinsip dengan Outer Space Treaty yang telah diratfikasi oleh Indonesia.

"(Masalah) ini tidak hanya menyangkut kedaulatan, tetapi juga bisa mengundang kontroversi lebih lanjut karena penetapan batas vertikal yang bersifat unilateral tanpa adanya dasar hukum internasional," tambahnya.

Pengaturan subantariksa dan ruang udara internasional

Isu lain yang muncul dalam RUU PRU adalah pengenalan konsep “subantariksa Indonesia” yang diatur dalam Pasal 39 RUU PRU. Adhy menyoroti bahwa konsep ini tidak dikenal dalam Konvensi Chicago 1944 maupun Outer Space Treaty 1967.

Konvensi Chicago 1944, jelasnya, hanya mengakui ruang udara negara di atas wilayah darat dan laut teritorial serta ruang udara internasional yang berada di luar wilayah teritorial.

“Pengenalan istilah 'subantariksa' ini bisa dapat dipandang sebagai ‘klaim’ sepihak terhadap wilayah ruang angkasa yang bertentangan dengan hukum internasional," kata Adhy.

Konsep baru itu, imbuhnya, berpotensi menyebabkan ketidakjelasan dalam pengelolaan rezim ruang udara dan ruang angkasa secara internasional. Pasalnya, tidak ada pengaturan resmi di tingkat internasional yang mendukung hal tersebut.

"Dengan pengaturan seperti ini, bisa jadi Indonesia berisiko menghadapi klaim terhadap ruang udara internasional yang sebelumnya tidak ada atau bahkan bertentangan," jelas Adhy.

Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ), konsep yang tidak dikenal internasional

Selanjutnya, pengenalan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) dalam Pasal 37 RUU PRU juga menjadi topik penting. Adhy menjelaskan, konsep ADIZ sebenarnya tidak dikenal dalam Konvensi Chicago.

“Konvensi ini menjamin dan mengedepankan kebebasan penerbangan di ruang udara internasional dan dengan menambahkan ketentuan ini, RUU ini seolah-olah ingin memperluas yurisdiksi sipilnya," katanya.

Penetapan ADIZ merupakan praktik yang dilakukan secara unilateral oleh negara tertentu, tetapi tidak dikenal dalam hukum penerbangan sipil internasional.

Menurut Adhy, pengaturan ketentuan ADIZ dalam RUU ini bisa dianggap sebagai upaya untuk memperluas kontrol negara di ruang udara internasional yang berpotensi menimbulkan ketegangan antarnegara untuk mengatur kebebasan penerbangan sipil internasional.

“Hal ini berisiko merusak prinsip dasar dalam Konvensi Chicago yang mengutamakan kebebasan penerbangan sipil di ruang udara internasional," tambahnya.

Perizinan pesawat sipil asing berisiko timbulkan ketegangan

Adhy juga menyoroti pengaturan perizinan untuk pesawat sipil asing yang melintas di ruang udara Indonesia. Pasal 7, 40, dan 41 dalam RUU PRU mengatur prosedur perizinan bagi pesawat asing berjadwal.

"Secara prinsip, Konvensi Chicago membedakan penerbangan sipil internasional menjadi dua, yaitu: berjadwal dan tidak berjadwal. Terkhusus penerbangan sipil berjadwal, hal ini umumnya diatur melalui kesepakatan bilateral antara negara-negara yang terlibat," kata Adhy.

Menurutnya, Indonesia harus berhati-hati dalam menetapkan perizinan yang ketat untuk pesawat sipil asing berjadwal.

“Pengenaan izin yang sama, seperti halnya pesawat sipil non-berjadwal pada pesawat sipil berjadwal, bisa berisiko memicu balasan serupa dari negara lain terhadap maskapai Indonesia yang terbang atau melintas ke negara mereka," ujar Adhy.

Hal tersebut, imbuhnya, bisa merugikan Indonesia karena bisa mempersulit gerak langkah ekspansi bisnis perusahaan maskapai Indonesia.

Klausul penggunaan senjata terhadap pesawat sipil

Hal lain yang menjadi perhatian utama Adhy adalah ketentuan dalam Pasal 41 ayat (4). Munculnya klausa ‘tindakan lain yang diperlukan’ dalam RUU ini dapat melahirkan multitafsir yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 3bis Konvensi Chicago. Sebagaimana dipahami, Pasal 3bis Konvensi Chicago melarang negara-negara menggunakan senjata untuk menindak pesawat sipil.

"Klausul ini sangat berisiko karena dapat melahirkan multitafsir yang bertentangan dengan Konvensi Chicago, yang mengutamakan keselamatan penerbangan sipil. Klausula penegakan hukum yang berpotensi melibatkan penggunaan senjata terhadap pesawat sipil dapat berisiko terhadap pelanggaran hukum internasional." tegas Adhy.

Adhy menyimpulkan bahwa meskipun ruang udara adalah aspek yang sangat penting bagi pertahanan dan ekonomi negara, pengelolaannya harus tetap memperhatikan keselarasan dengan hukum internasional.

"Pengaturan yang tidak konsisten dengan ketentuan internasional dapat berdampak buruk bagi Indonesia, baik dari segi diplomasi maupun keselamatan penerbangan sipil. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi yang sangat hati-hati dalam menyusun kebijakan terkait pengaturan pengelolaan ruang udara ini," ujarnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau