JAKARTA, KOMPAS.com – Guru dan siswa di Papua dan Maluku membuktikan keterbatasan bukan penghalang untuk berinovasi. Dengan waktu terbatas dan berangkat dari nol pengetahuan koding, mereka berhasil menciptakan solusi teknologi untuk masalah lingkungan di sekitar mereka.
Saat air di lingkungan sekolah mereka terdeteksi tidak layak konsumsi, 10 siswa SMAN 2 Sorong, Papua Barat Daya, bersama dua guru mereka menciptakan sistem pemantauan kualitas air berbasis internet of things (IoT).
Di sisi lain kepulauan, ketika sampah mengancam keindahan laut Kepulauan Kei, siswa SMAN 1 Tual, Maluku, merancang kapal amfibi pengangkut sampah bertenaga surya.
Dua masalah berbeda, satu semangat yang sama. Keduanya lahir dari Teacher Tech Championship (TTC) Bakti BCA 2025, kompetisi inovatif bagi guru-guru SMA di Maluku dan Papua yang dirancang untuk meningkatkan literasi koding dan kecerdasan artifisial (AI).
Pencapaian luar biasa itu diumumkan dalam Grand Final TTC yang digelar di Jakarta Pusat, Rabu (15/10/2025).
Acara dihadiri langsung oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof Dr Abdul Mu'ti, MEd; Direktur Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru Prof Dr Nunuk Suryani, MPd; Direktur BCA Antonius Widodo Mulyono; Executive Vice President (EVP) Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F Haryn; serta jajaran manajemen BCA lainnya.
Dari 147 kelompok peserta yang mendaftar, hanya 116 yang lolos seleksi administrasi. Setelah melalui proses kurasi ketat, 16 tim semifinalis terpilih untuk mengikuti Teacher Professional Development (TPD) intensif di Maluku dan Papua.
Dari jumlah tersebut, delapan finalis berkompetisi memperebutkan posisi juara. Para kontestan dinilai oleh para juri kompeten di bidangnya.
Tim SMAN 2 Sorong keluar sebagai juara pertama regional Papua, sementara SMAN 1 Tual meraih gelar juara pertama regional Maluku. Kedua tim membuktikan bahwa inovasi teknologi bukan milik eksklusif kota besar, melainkan dapat lahir dari daerah dengan keterbatasan infrastruktur sekalipun.
Widodo menjelaskan, pemilihan Indonesia Timur sebagai fokus program bukan tanpa alasan. Kesenjangan akses teknologi di wilayah tersebut masih menjadi tantangan yang perlu dijawab secara kolektif.
"Kemajuan digital nasional tidak boleh meninggalkan satu daerah pun. Pengembangan teknologi seperti AI sangat bertumpu pada akses internet sehingga pemerataan internet hingga ke daerah tertinggal, terdepan, dan terluar sangat penting dilakukan," kata Widodo.
Data terbaru terkait kesenjangan akses internet antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mendukung urgensi tersebut.
Dikutip dari Kompas.id, Kamis (14/8/2025), penetrasi akses internet di kawasan Maluku dan Papua baru mencapai 69,26 persen. Angka ini jauh berbeda dibandingkan dengan Pulau Jawa yang mencapai 84,69 persen.
Kesenjangan itu berdampak pada akses pendidikan, termasuk literasi teknologi seperti AI dan koding. Kondisi inilah yang menjadi salah satu alasan kuat mengapa program TTC difokuskan di wilayah tersebut.
Widodo juga menekankan peran vital guru sebagai agen perubahan pendidikan. Dalam era digital, guru harus terus mengupdate kompetensinya agar mampu memberikan ilmu pengetahuan sekaligus membangun karakter siswa.
"Peran guru sudah pasti sangat vital. Gurulah yang akan men-deliver ilmu-ilmu, pengetahuan, tapi sekaligus tentu mendeliver yang tidak sekedar ilmu. Jadi, ada character building di situ," ujarnya.
Program TTC juga sejalan dengan kebijakan pemerintah yang menerapkan mata pelajaran koding dan AI mulai dari pendidikan dasar dan menengah.
Sementara itu, Hera dalam sambutannya menyampaikan bahwa TTC merupakan bagian dari pilar Bakti Pendidikan Bakti BCA yang memiliki tiga fokus utama, yaitu pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pemberdayaan disabilitas.
Bakti Pendidikan sendiri menjadi salah satu dari lima pilar besar Bakti BCA, di luar Bakti Kesehatan, UMKM dan Desa Bakti BCA, Bakti Budaya, dan Bakti Lingkungan.
"Visi besar kami adalah membangun sumber daya manusia yang berdaya saing global. Jadi, bukan tentang berapa banyak kami bisa memberikan secara finansial atau transaksional, tapi bagaimana kami bisa membangun satu sumber daya manusia di Indonesia," ujar Hera.
Ia menambahkan, BCA percaya bahwa dengan melakukan intervensi secara konsisten kepada 20 persen sumber daya manusia berkualitas, multiplier effect dapat terjadi untuk pembangunan masyarakat lebih luas.
Dari air tercemar hingga sampah laut, dua masalah nyata di Timur Indonesia
Perjalanan tim SMAN 2 Sorong dimulai dari keprihatinan mendalam. Guru Kimia Deni Adelita Tofani Novitasari SMAN 2 Sorong mengungkapkan bahwa hasil uji Total Dissolved Solids (TDS) air di lingkungan sekolah tersebut menunjukkan angka mengejutkan, yakni 1.000 part per million (ppm). Angka ini dua kali lipat dari batas aman yang ditetapkan Kementerian Kesehatan, yakni 500 ppm.
Temuan itu memicu kesadaran bahwa air yang selama ini dikonsumsi berpotensi membahayakan kesehatan. Bersama rekan guru lainnya, Cahya Putra Raharjo, dan 10 siswa, SMAN 2 Sorong merancang Sistem Pemantauan dan Peringatan Dini Kualitas Air Berbasis IoT.
“Air menjadi hal penting, terutama bagi siswa dan guru di sekolah, bahkan juga di rumah tangga. Jadi, kami berpikir, bagaimana menciptakan teknologi uji kualitas air dengan alat yang sederhana,” ujar Deni.
Sementara itu, Cahya yang merupakan guru informatika SMAN 2 Sorong menjelaskan cara kerja proyek tersebut.
“Sistem ini menggunakan sensor pH dan TDS meter untuk membaca kualitas air secara real-time. Data kemudian dikirim ke platform ThingSpeak dan dapat dipantau melalui aplikasi Android. Pemilik rumah dapat mengetahui apakah air di rumahnya layak konsumsi atau tidak, langsung dari smartphone mereka,” jelasnya.
Namun, perjalanan guru SMAN 2 Sorong dalam menciptakan proyek tersebut tidak mulus. Dengan waktu hanya tiga minggu, mereka harus berimprovisasi mencari peralatan sederhana seperti gelas kimia untuk melengkapi maket presentasi.
Keterbatasan akses internet yang stabil di Papua Barat Daya juga menjadi tantangan tersendiri saat mengintegrasikan sistem berbasis cloud.
“Kami sebenarnya adalah guru yang nol (kemampuan) koding. Namun, tim Bakti BCA melatih kami soal koding dan memberikan tantangan untuk mengajarkan hal tersebut kepada siswa,” kata Cahya.
Proyek itu kemudian diuji lapangan di lingkungan pemukiman sekitar sekolah. Hasilnya, sistem mampu memantau air secara otomatis, efisien, sederhana, dan ramah lingkungan. Ke depan, tim berencana mengintegrasikan panel surya untuk suplai energi dan mengembangkan fitur AI prediktif untuk mendeteksi perubahan kualitas air.
Sementara itu di Kepulauan Kei, Maluku, tim SMAN 1 Tual menghadapi tantangan berbeda, yakni sampah laut yang mengancam keindahan pantai ikonik sebagai destinasi wisata.
Peserta dari SMAN 1 Tual Rizaldy Kulle dan Grace Bace Oratmangun SMAN 1 Tual bersama 10 siswa mereka merancang prototipe kapal amfibi pengangkut sampah tanpa awak bertenaga panel surya.
“Untuk yang ini judulnya adalah Prototipe Kapal Pengangkut Sampah Tanpa Awak Bertenaga Surya Berbasis Internet of Things dengan fitur smart control berbasis AI,” ucap Grace.
Ia melanjutkan, kapal tersebut dapat beroperasi di dua medan berbeda. Roda dayung untuk perairan dan roda darat untuk permukaan tanah. Keduanya dikendalikan melalui aplikasi smartphone. Seluruh sistem beroperasi tanpa bahan bakar fosil, mengandalkan energi matahari yang melimpah di kawasan tropis.
"Bayangkan, kami yang adalah guru dan peserta didik dari Maluku, kepulauan di ujung timur Indonesia. Kami terbatas dengan fasilitas yang ada. Namun, kami percaya dengan kemajuan teknologi dan ide cemerlang dari anak-anak Maluku, kami bisa membangun Indonesia," ujar Grace dalam presentasinya yang memukau juri.
Para finalis Teacher Tech Championship Bakti BCA 2025 berpose bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof Dr Abdul Mu'ti, M Ed, dan Direktur BCA Antonius Widodo Mulyono, serta jajaran manajemen BCA lainnya usai penyerahan penghargaan di Jakarta. Tiga minggu belajar koding, lahirkan solusi berbasis IoT dan AI
Prestasi kedua tim tersebut semakin mengesankan mengingat mereka memulai dari titik nol. Sebelum mengikuti TTC, para guru mengaku sama sekali tidak memiliki pengetahuan koding.
"Kami mulai kegiatan ini dari nol. (Kemampuan) koding kami itu nol, kami tidak tahu apa-apa, tapi dengan luar biasa BCA menyiapkan materi pembelajaran, kemudian mentor-mentor yang luar biasa, coach yang andal, sehingga akhirnya segala sesuatu yang awalnya kami rasa sulit itu bisa kami lalui," ungkap Deni.
Teacher Professional Development yang diselenggarakan selama 12 hari menjadi kunci transformasi mereka. Program ini tidak hanya mengajarkan teknis koding dan AI, tetapi juga menanamkan paradigma baru dalam pembelajaran, yakni design thinking dan computational thinking.
Guru-guru dilatih untuk mengajarkan siswa berpikir komputasional, yakni kemampuan menyelesaikan masalah secara sistematis melalui proses dekomposisi, pengenalan pola, abstraksi, dan algoritma. Pendekatan ini membantu siswa memahami dan menangani tantangan digital dengan lebih efektif.
Proses pembelajaran dimulai dengan tahap empathize, yang mana siswa diminta mensurvei permasalahan yang ada di lingkungan sekolah. Di SMAN 2 Sorong, dua masalah besar muncul, yaitu sampah dan air. Namun, melalui diskusi dan analisis urgensi, mereka memutuskan fokus pada kualitas air karena digunakan setiap saat dan berdampak langsung pada kesehatan.
"Sebelum ide itu muncul, kami minta siswa mensurvei dulu apa permasalahan yang ada di lingkungan sekolah. Maka dari urgensi itulah yang kemudian di tahap empathize tadi, kami memutuskan, berdiskusi untuk problemsolving-nya," jelas Deni.
Dari situ, siswa belajar tentang berbagai sensor yang ada, kemudian berpikir untuk apa sensor tersebut bisa digunakan dan apa manfaatnya. Proyek akhir menjadi bentuk kolaborasi ide yang dilahirkan oleh siswa dan kemudian dirangkum bersama guru menjadi sebuah inovasi utuh.
Pendekatan project-based learning itu terbukti efektif. Siswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga mampu menerapkannya dalam proyek nyata yang meningkatkan kreativitas dan keterampilan memecahkan masalah.
Teknologi untuk membangun karakter, bukan sekadar alat
Prof Abdul Mu'ti memberikan apresiasi tinggi atas program tersebut. Menurutnya, TTC sejalan dengan visi kementerian untuk memperbaiki kualitas pembelajaran, terutama di kawasan Indonesia Timur.
"Kalau kita ingin memperbaiki bangsa, memperbaiki negara, perbaikilah pendidikan. Dan kalau ingin memperbaiki pendidikan, perbaikilah mulai dari proses pembelajaran," ujar Prof Mu'ti dalam sambutannya.
Ia menekankan bahwa teknologi bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk membangun karakter. Berbagai temuan teknologi dalam TTC harus berorientasi pada pembangunan karakter siswa, bukan sekadar pencapaian teknis semata.
"Teknologi could be helpful and meaningful, but it could also be harmful. Karena itu, berbagai temuan teknologi itu bukan for the technology itself, tetapi untuk membangun karakter dengan teknologi itu," katanya.
Prof Mu'ti juga mengutip pernyataan Hera yang menyebut bahwa matahari selalu terbit dari timur.
"Dan dari matahari pertama di Bumi Khatulistiwa, kita ingin membangun Indonesia menjadi negara yang sukses," ujarnya.
Terkait keberlanjutan, Widodo menegaskan, BCA berkomitmen untuk melanjutkan dan mengembangkan program TTC ke wilayah lain di Indonesia. Meskipun tahun ini fokus di Maluku dan Papua, bukan berarti program berhenti di sana.
"Pilihan Indonesia Timur, Maluku, dan Papua itu bukan berarti kemudian (program ini) berhenti di Maluku dan Papua," katanya.
Setiap program akan melalui proses review dan evaluasi. Tim akan mendengarkan masukan dari pemangku kepentingan, termasuk Kementerian Pendidikan, untuk menentukan langkah selanjutnya.
Dari Sorong hingga Tual, dari masalah air hingga sampah laut, TTC membuktikan bahwa inovasi tidak mengenal batas geografis. Keterbatasan infrastruktur dan akses internet, bahkan minimnya peralatan laboratorium tidak menghalangi guru dan siswa di Indonesia Timur untuk berkarya.