Advertorial

JILF 2025 Ajak Masyarakat Merenungkan Arti Tanah Air dari Kacamata Kemanusiaan Lewat “Homeland in Our Bodies”

Kompas.com - 13/11/2025, 15:17 WIB

KOMPAS.com – Berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, baik di Indonesia maupun dalam tataran internasional, telah menciptakan keresahan akut yang membuat banyak orang nyaris tak berdaya.

Mulai dari pengelolaan ekonomi ekstraktif yang tak mengindahkan keseimbangan alam dan dampaknya bagi masyarakat di sekitar, demokrasi yang tak berjalan di atas kepentingan rakyat, kekerasan negara yang didukung algoritma dan asosiatif (membawa buku bertema politik adalah pemberontakan), hingga genosida yang terjadi di depan mata.

Merespons berbagai peristiwa tersebut, tak jarang tampak celoteh netizen yang berkeluh kesah. Mereka mencintai tanah air tempat mereka lahir dan bertumbuh, tetapi juga tak kuasa menahan kecewa akibat pengelolaan negara.

“Tanah air” yang kerap disangkutpautkan sebatas pada politik kekuasaan hingga nasionalisme sempit, perlu dimaknai ulang melalui kacamata kemanusiaan. Frasa tersebut sejatinya juga berbicara tentang alam dan ekosistem yang melingkupinya, serta hayat manusia.

Mengambil tema “Homeland in Our Bodies/Tanah Air dalam Tubuh Kita”, Jakarta Literary Festival (JILF) 2025 berupaya memangkas jarak antara sastra dan politik serta antara sastra dan gerakan publik.

JILF 2025 dikurasi oleh tiga kurator, yaitu Kiki Sulistyo, Evi Mariani, dan Ronny Agustinus. Kiki Sulistyo menjelaskan bahwa lewat perspektif kemanusiaan, “Homeland in our Bodies” ingin menegaskan peran sastra sebagai bagian dari gerakan publik dalam festival.

“Melalui perspektif kemanusiaan (humanity), Homeland in Our Bodies hendak memberi garis bawah pada sikap politik sastra sebagai bagian dari gerakan publik dalam kerangka festival,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, (13/11/2025).

Ia pun menegaskan bahwa makna tanah air menyatu dengan makna kemanusiaan. Sebab, lanjutnya, tanah air tecermin dalam tubuh manusia.

Dalam kerangka tersebut, sastra menjadi bagian dari perlawanan terhadap segala akibat dari keputusan yang mencederai kemanusiaan sekaligus berupaya mengembalikan martabat kamusiaan kepada hakikatnya.

Dengan demikian, festival sastra dapat dibaca sebagai implementasi praktis gerakan perlawanan dan beriringan dengan gerakan solidaritas lain guna menegaskan kembali kemanusiaan di tanah air.

Direktur Eksekutif JILF 2025 Avianti Armand mengatakan, kemanusiaan merupakan topik yang terlintas pertama kali saat menggodok ide festival sastra kelima yang berlangsung sejak 2019.

Dalam puisi “The Last Train Has Stopped”, penyair Palestina, Mahmoud Darwish, menggunakan frasa “homeland in my body”. Frasa ini menyiratkan bahwa tanah air berada di dalam tubuh manusia. Oleh karenanya, manusia harus bebas dari penjajahan, penindasan, dan ketidakadilan.

“Tema yang paling tepat untuk diangkat dan direspons adalah tentang kemanusiaan. Kami ambil sebaris puisi Darwish yang dikembangkan jadi Homeland in Our Bodies. Karena kita tidak sendiri bicarakan kemanusiaan,” ungkapnya.

Penulis dan profesor dalam bidang sejarah Indonesia, Katharine E McGregor, mengajak para pembaca untuk merenungkan tema JILF 2025, terutama kaitannya dengan narasi sejarah tentang tanah air yang tak pernah tunggal, sekaligus membuka ruang untuk menggali kemanusiaan bersama sebagai bentuk refleksi kritis.

“Tema festival mengajak kita untuk merenungkan interpretasi yang beragam, inklusif, dan adil tentang tanah air, melampaui definisi sempit dan eksklusif tentang sebuah bangsa,” ujarnya.

Selain sebagai wadah aktivisme dan solidaritas, penyelenggaraan JILF 2025 menguatkan status Jakarta sebagai kota literasi yang disematkan oleh UNESCO.

Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Bambang Prihadi menyatakan bahwa perhelatan JILF 2025 menjadi titik temu atau ruang terbuka bagi berbagai kepentingan politik, agama, dan ekonomi.

“Pertanyaannya, mampukah forum panen karya sastra ini melampaui kepentingan pragmatis dan mengikis karat ketidakadilan di negeri ini? Selain memiliki daya tawar mempertemukan sastrawan untuk menyatakan sikap pada krisis global, baik krisis kemanusiaan, lingkungan hidup, dan lainnya,” ucapnya.

Adapun rangkaian program dalam JILF 2025 terdiri dari Bincang Penulis (Authors’ Forum) yang menghadirkan 23 penulis Indonesia dan 4 penulis mancanegara, Baca Kata (Reading Night) yang berisi pembacaan karya dari 11 penulis, Tumbuh dan Merambat (Live Mural) dengan menghadirkan langsung pembuatan mural oleh 6 seniman dengan beragam interpretasi.

Selain itu, ada pula Program Kolaborasi (Fringe Events) yang berisi peluncuran buku dan diskusi isu terkini, Pasar Kata (Community Showcase) yang menghadirkan berbagai elemen dalam ekosistem sastra, literasi, dan budaya, serta Pasar Buku (Bazaar) dan ditutup dengan Pentas Kata (Performance).

JILF 2025 diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki mulai Kamis (13/11/2025) sampai Minggu (16/11/2025). Malam Pembukaan berlangsung di Plaza Teater Besar pada Kamis (13/11/2025) pukul 19.00—22.00 WIB.

Silakan membaca pemikiran para penulis yang tersusun dalam Buku Program melalui tautan jilf.id/program-book. Informasi lebih lanjut kunjungi website www.jilf.id atau Instagram @jild.indo.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau