Advertorial

Dialog Berbasis Data Dinilai Krusial untuk Menata Ulang Isu Lahan Tapanuli

Kompas.com - 22/11/2025, 17:30 WIB

KOMPAS.com - Ketegangan dan perbedaan pandangan mengenai masa depan pengelolaan lahan di Tapanuli terus mendapat perhatian publik.

Di tengah dinamika tersebut, Ketua Tim Independen Pengawas Paradigma Baru PT Toba Pulp Lestari (TPL), Hasudungan Butar-butar menilai bahwa diskusi publik perlu diarahkan kembali pada data, kajian ilmiah, dan tata kelola negara.

Sebagai putra daerah dan akademisi yang telah mengikuti perkembangan Tapanuli selama 21 tahun, Hasudungan menekankan pentingnya memastikan pengambilan keputusan tidak didorong oleh tekanan massa atau persepsi yang belum terverifikasi.

Menurutnya, perubahan peruntukan ruang, termasuk wacana pembagian lahan, merupakan isu strategis yang harus mengikuti mekanisme hukum, melibatkan kajian komprehensif, dan mempertimbangkan stabilitas sosial masyarakat.

Hasudungan menegaskan bahwa lahan di Tapanuli adalah milik negara, sehingga tidak ada yang berhak membagi lahan, baik organisasi maupun perkumpulan.

“Tidak ada satu organisasi atau perkumpulan yang berhak membagi-bagi lahan. Itu kan punya negara. Pada prinsipnya, harus negara yang mengatur itu semua,” ujarnya saat diwawancarai Kompas.com melalui sambungan telepon, Kamis (20/11/2025).

Hasudungan menyampaikan, pengambilan keputusan mengenai pembagian lahan harus berlandaskan pada kriteria yang jelas mengenai siapa yang berhak mendapatkan lahan dan berapa luas lahannya.

Penentuan kriteria tersebut juga perlu mempertimbangkan berbagai aspek, seperti asal-usul penduduk, baik penduduk asli maupun pendatang, serta potensi risiko konflik sosial setelah pembagian.

Pasalnya, penduduk Tapanuli terdiri atas berbagai etnis dan marga dengan sejarah migrasi yang panjang. Hal ini membuat penentuan pembagian lahan bukan perkara sederhana.

“Tapanuli memiliki hampir seratus marga Batak. Belum lagi yang bukan orang Batak. Jadi, harus jelas kriterianya dan harus dipikirkan apa dampak negatifnya nanti setelah dibagi,” jelas Hasudungan.

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dapat segera melakukan kajian ilmiah secara komprehensif, mulai dari aspek sosial, ekonomi, sosiologi, antropologi, hingga lingkungan.

Kajian tersebut juga diharapkan dapat mencakup batasan hutan yang bisa dibagi, baik hutan lindung maupun produksi.

Tantangan karakteristik biofisik Tapanuli

Sebagai mantan dosen Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU), Hasudungan menyatakan bahwa karakteristik biofisik Tapanuli membatasi pilihan budidaya komoditas.

Pasalnya, Tapanuli memiliki topografi bergelombang, berbukit, dan miring, dengan lahan datar yang relatif minim. Tanah di kawasan ini rata-rata peka erosi dan memiliki produktivitas yang rendah, sehingga tidak semua komoditas cocok dikembangkan.

Dalam pengamatannya selama lebih dari 20 tahun, Hasudungan menilai eukaliptus sebagai tanaman paling adaptif dan cocok untuk tekstur tanah di Tapanuli. Pohon ini memiliki daya adaptasi tinggi dan sistem perakaran yang mampu mencengkeram hingga ke celah batu.

Kemampuan adaptasi dan sistem perakarannya membuat pohon eukaliptus tetap tumbuh subur meski di tengah kondisi biofisik yang menantang.

Selain itu, Hasudungan mengungkapkan juga bahwa masa panen eukaliptus lebih cepat karena kini PT TPL tidak lagi menggunakan biji, tetapi bibit kloning.

“Kalau dari biji, kami dulu 15 tahun ke atas baru bisa panen, sementara dengan kloning 5-6 tahun sudah bisa dipanen. Kini, produksinya sudah di atas 100 ton per hektar (ha) setiap panen,” jelasnya.

Hasudungan mengaku beberapa kali menawarkan alternatif komoditas lain kepada para petani, seperti kopi dan enau, tetapi keduanya memiliki hambatan.

Kopi cenderung sensitif dan kurang optimal di tanah tandus, sementara enau membutuhkan waktu lama untuk menghasilkan nira. Kondisi ini membuat banyak petani enggan menanam karena khawatir gagal panen atau hasilnya tidak memuaskan.

Hal tersebut membuktikan bahwa hingga saat ini eukaliptus merupakan komoditas paling menjanjikan di wilayah Tapanuli.

Pendekatan yang seimbang

Hasudungan menekankan bahwa diskusi mengenai masa depan lahan Tapanuli tidak dapat mengesampingkan keberlangsungan ekonomi ribuan keluarga.

Pasalnya, sebagian masyarakat Tapanuli bekerja di rantai usaha PT TPL untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sementara sebagian lainnya berharap mendapatkan redistribusi ruang yang lebih besar.

Kondisi tersebut menyebabkan terciptanya dua kutub, yakni kelompok yang kehidupannya bergantung pada aktivitas perusahaan dan kelompok yang menginginkan pembagian lahan.

Jika tidak dikelola melalui dialog konstruktif berbasis data, perbedaan kepentingan di antara keduanya dapat memicu ketegangan horizontal.

Saat dihubungi oleh Kompas.com, Hasudungan juga menyoroti transformasi pekerjaan yang pada praktiknya tidak mudah diterapkan.

“Tidak mudah melaksanakan transformasi tenaga kerja, dari industri tiba-tiba jadi petani. Misalnya, (seseorang) terbiasa menggunakan komputer atau memegang mesin di TPL, tiba-tiba dikasih lahan 2 ha. Pasti akan mengalami stres,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hasudungan memaparkan bahwa keberadaan perusahaan turut menciptakan multiplier effect yang luas bagi ekonomi lokal, mulai dari menghidupkan pedagang harian hingga suplai kebutuhan pangan yang bergantung pada perputaran ekonomi pekerja.

“Jadi, apakah menutup TPL itu salah satu alternatif terbaik? Kalau ditutup, apa dampak negatifnya? Perlu kajian ilmiah yang komprehensif apakah perusahaan ini harus ditutup atau masih bisa dilanjutkan dengan perubahan-perubahan tertentu,” katanya.

Hasudungan menjelaskan bahwa PT TPL telah menerapkan CSR satu persen dari penjualan bersih sejak 2004. Selain itu, Hasudungan juga berharap masyarakat bisa lebih menahan diri agar tidak terprovokasi oleh informasi yang belum diverifikasi.

Menurutnya, jika pemerintah mampu memfasilitasi dialog terbuka berbasis data, menegakkan landasan hukum yang kuat, dan menyusun kajian ilmiah komprehensif, masa depan pengelolaan lahan Tapanuli dapat dirumuskan secara adil, berimbang, dan berkelanjutan.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau