KOMPAS.com – Di sebuah pondok kecil di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, seorang petani membuka aplikasi di ponselnya dan menekan tombol "Rekam Kebun". Dalam hitungan detik, titik lokasi ladangnya muncul di peta digital.
Bagi sebagian orang, peta itu hanya koordinat global positioning system (GPS) biasa. Namun, bagi dunia ekspor, data tersebut adalah bukti emas bahwa biji kopi benar-benar berasal dari kebun yang diklaim, bukan lahan ilegal atau kawasan terlarang.
Itulah teknologi inti dari Smart Traceability Coffee atau Sicafee, inovasi digital berbasis GPS yang mengubah cara kopi Sumatera Utara ditelusuri dan dinilai oleh pembeli internasional.
Sistem tersebut memungkinkan penelusuran asal-usul kopi dari kebun hingga ke tangan konsumen dengan akurasi tinggi.
GPS geotagging untuk identitas kebun
Instrumen utama Sicafee adalah modul GPS yang merekam titik koordinat kebun secara presisi. Sistem ini menautkan lokasi fisik kebun dengan identitas petani dan varietas kopi yang ditanam.
Data koordinat tersebut menjadi proof of origin atau dokumen digital yang menjadi syarat utama ekspor ke negara dengan aturan ketat seperti Uni Eropa. Setiap hasil kopi mendapat kode QR unik yang menyimpan data lengkap, mulai dari lokasi kebun, tanggal panen, petani yang memanen, pascapanen, hasil uji kualitas, hingga alur distribusi.
Dengan Sicafee, petani tidak perlu menulis catatan manual karena semua aktivitas seperti pemupukan, pengeringan, dan sortasi dapat dicatat langsung di aplikasi. Kode QR tersebut mengikuti kopi hingga ke tangan eksportir dan hampir tidak mungkin dipalsukan karena setiap data terhubung ke titik GPS awal. Petani tidak perlu menulis catatan manual karena semua aktivitas, seperti pemupukan, pengeringan, dan sortasi dapat dicatat langsung di aplikasi.
Sistem merangkum semuanya dalam digital logbook yang menjadi nilai tambah saat pembeli menilai kualitas batch kopi. Catatan digital ini juga memudahkan petani melacak pola tanam dan panen mereka sendiri.
Fitur dasbor distribusi memungkinkan pengepul dan eksportir melihat siapa petani yang sudah panen, lokasi kopi saat ini, batch yang siap diolah, hingga volume yang masuk sepanjang musim.
Eksportir seperti PT Matoga Cipta Indonesia dan CV Mandiri Coffee dapat mempercepat manajemen pasokan dan langsung menghasilkan traceability report yang dibutuhkan pembeli sebelum pembayaran.
Riset lapangan yang melahirkan inovasi
Sicafee bukan aplikasi yang dibuat di balik meja. Sistem ini dibangun melalui penelitian yang didanai Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Skema EMAS dan diterapkan langsung di enam kabupaten sentra kopi, yakni Karo, Simalungun, Dairi, Pakpak Bharat, Mandailing Natal, dan Tapanuli Selatan.
Di dunia ekspor, transparansi adalah mata uang baru yang menentukan kepercayaan pembeli. Tim peneliti yang memimpin pengembangan tersebut adalah dr Arfanda Anugrah Siregar sebagai ketua, didampingi dr Ismael, Marlya Fatira AK, Amelira Haris Nasution, Eli Safrida, dan Dina Arfianti Siregar. Mereka berkolaborasi dengan mitra eksportir seperti Fadli Hazmi dari AEKI Sumut dan Titis Budi Prihatin dari CV Mandiri Coffee.
Kombinasi akademisi dan praktisi membuat Sicafee mampu menjawab kebutuhan nyata pelaku industri. Teknologi yang dikembangkan bukan sekadar konsep, melainkan solusi yang langsung dapat diaplikasikan di lapangan.
Dengan sistem GPS, kode QR, logbook digital, hingga dasbor rantai pasok, Sicafee menghadirkan satu hal penting yang sebelumnya hilang, yakni transparansi total. Di dunia ekspor, transparansi adalah mata uang baru yang menentukan kepercayaan pembeli.
Kini, biji kopi yang tumbuh di lereng Simalungun atau Mandailing Natal bisa menampilkan seluruh perjalanannya hanya melalui pemindaian satu kode QR. Teknologi yang dahulu terasa jauh dari petani, kini menjadi bagian dari proses harian mereka.
Itulah kisah paling menarik dari transformasi digital kopi Sumut yang dimulai dari hal sederhana, yakni satu titik koordinat GPS di kebun petani.