Koridor ekosistem rimba

Koridor Ekosistem Rimba Jaga Warisan Budaya dan Kuliner Lokal di Jantung Sumatra

Kompas.com - 08/12/2025, 19:16 WIB

KOMPAS.com – Koridor Ekosistem Riau–Jambi–Sumatera Barat (RIMBA) menghadapi tekanan lingkungan yang kian meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Kawasan yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2012 itu mengalami tantangan besar akibat penyusutan tutupan hutan, fragmentasi habitat, hingga pelemahan kualitas ekosistem sungai.

Koridor tersebut merupakan salah satu dari lima koridor ekosistem penting di Sumatera. Kawasan tersebut memiliki fungsi strategis sebagai penghubung habitat satwa kunci, mulai dari gajah sumatera hingga harimau sumatera yang bergantung pada kelestarian bentang alam sekitarnya.

Di tengah ancaman tersebut, pembangunan ekonomi hijau menjadi pendekatan yang terus didorong pemerintah dan mitra pembangunan. Model ini berupaya menyeimbangkan perlindungan keanekaragaman hayati, pengurangan emisi karbon, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar koridor.

RIMBA sendiri tidak hanya menjadi kawasan ekologis, tetapi juga ruang hidup bagi komunitas adat yang telah lama menjaga hutan dan sungai dengan aturan tradisi. Kearifan lokal di kawasan ini menjadi kekuatan penting untuk menjaga kelestarian serta mendorong ekonomi masyarakat.

Beragam praktik adat yang masih berlangsung hingga kini memperlihatkan bahwa keberlanjutan dapat dicapai ketika masyarakat dilibatkan sebagai penjaga lingkungan.

Sejumlah desa di dalam koridor bahkan mulai mengembangkan praktik wisata berbasis budaya yang ikut memperkuat ekonomi hijau.

Desa Wisata Silokek, Sijunjung, Sumatera Barat. Dok. Liputan Tim Kegiatan Publikasi Rimba 2025 Desa Wisata Silokek, Sijunjung, Sumatera Barat.

Warisan adat Silokek yang terjaga

Salah satu contoh penerapan kearifan lokal di Koridor RIMBA terlihat di Desa Wisata Silokek, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar). Desa ini dihuni oleh masyarakat dari empat suku utama, yaitu Patopang Bukik, Patopang Bough, Melayu Gadang, dan Melayu Ketek.

Silokek berada di kawasan bertebing karst yang dibelah oleh Batang Kuantan. Sungai ini sejak dahulu menjadi jalur perdagangan penting yang menghubungkan masyarakat pedalaman dengan wilayah pesisir Sumatera.

Sebagian besar masyarakat Silokek berprofesi sebagai petani dan ahli pembuat perahu. Keahlian itu diwariskan turun-temurun dan menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat setempat.

Selain kekayaan alam, Silokek juga dikenal memiliki tradisi seni dan ritual adat yang masih dijalankan hingga kini. Tradisi tersebut meliputi randai, silat tradisi, dendang, saluang, hingga tarian adat yang ditampilkan dalam berbagai upacara kampung.

Ritual Bakaua Adat menjadi salah satu kegiatan budaya penting yang selalu diadakan pascapanen. Ritual ini digelar sebagai bentuk syukur atas hasil bumi serta penghormatan kepada alam yang memberi kehidupan.

Tradisi lain yang masih dilestarikan adalah maratik, sebuah prosesi adat untuk memohon perlindungan dari ancaman dan penyakit. Tradisi ini menunjukkan cara masyarakat memandang alam sebagai ruang hidup yang harus dijaga secara spiritual dan sosial.

Kuliner khas Silokek pun menjadi bagian lain dari kearifan lokal. Salah satu makanan yang terkenal adalah Kacau Asam, olahan ikan sungai, seperti patin, bayuang, atau garing yang dimasak dengan bumbu khas Minangkabau.

Desa wisata yang tumbuh dari tradisi

Tak jauh dari Silokek terdapat Perkampungan Adat Nagari Sijunjung yang merupakan permukiman bersejarah peninggalan Kerajaan Pagaruyung sejak abad ke-14. Kawasan ini terletak di Jorong Koto, Padang Ranah, dan Tanah Bato, yang hingga kini masih mempertahankan struktur adat Minang.

Di perkampungan adat ini, praktik gotong royong dan sistem kongsi masih berjalan kuat. Salah satu praktik tersebut adalah Batoboh, budaya berkumpul untuk bekerja bersama dalam mengolah lahan, memanen hasil kebun, hingga membangun rumah gadang.

Tradisi Bakaul juga menjadi bagian penting dalam masyarakat adat. Ritual ini dilakukan sebagai ungkapan syukur saat hasil panen melimpah atau ketika masyarakat memohon hujan turun.

Kemudian, ada tradisi Mambantai Adaik yang biasanya digelar pada momentum memasuki atau jelang bulan Ramadhan berakhir. Masyarakat berkumpul untuk menyembelih kerbau dan makan bersama sebagai bentuk kebersamaan antarsuku. Tradisi ini juga menjadi simbol persatuan dan kesejahteraan

Kini, Perkampungan Adat Sijunjung berkembang menjadi desa wisata berbasis budaya. Rumah gadang yang mulanya hanya digunakan untuk kegiatan adat kini dimanfaatkan sebagai homestay bagi wisatawan.

Kehadiran homestay tersebut membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat. Warga juga membuat kerajinan tangan, seperti ukiran, anyaman, dan perhiasan tradisional sebagai suvenir bagi wisatawan.

Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) kuliner khas Minangkabau turut tumbuh dari aktivitas wisata. Hal ini menjadikan desa adat tidak hanya sebagai pusat pelestarian budaya, tetapi juga penggerak ekonomi hijau yang melibatkan masyarakat lokal.

Perkampungan Nagari Adat Sijunjung, Sumatera Barat. Dok. Liputan Tim Kegiatan Publikasi Rimba 2025 Perkampungan Nagari Adat Sijunjung, Sumatera Barat.

Praktik adat untuk menjaga ekosistem sungai

Selain kekayaan adat di Sijunjung, praktik kearifan lokal lain yang berperan penting dalam menjaga lingkungan adalah Lubuk Larangan. Tradisi ini diterapkan di desa-desa sepanjang Koridor RIMBA, termasuk di Desa Telogo Limo di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.

Lubuk larangan merupakan aturan adat yang melarang masyarakat menangkap ikan di area sungai tertentu dalam waktu tertentu. Area itu biasanya dipagari dengan tali sebagai penanda agar masyarakat tidak mengambil hasil sungai sembarangan.

Aturan tersebut berfungsi sebagai mekanisme pemulihan alami. Ketika area sungai ditutup, populasi ikan dan kualitas air dapat kembali membaik sehingga memberikan manfaat jangka panjang bagi warga.

Ketika masa panen dibuka, hasil ikan yang didapat biasanya jauh lebih melimpah. Peneliti skenario ekonomi hijau RIMBA menyebut bahwa praktik adat ini merupakan bentuk konservasi berbasis komunitas yang sangat efektif dalam menjaga ekosistem sungai.

Taman Nasional Kerinci Seblat, Perbatasan Sumatera Barat-Jambi. Dok. Liputan Tim Kegiatan Pengembangan Skenario Ekonomi Hijau RIMBA 2024 Taman Nasional Kerinci Seblat, Perbatasan Sumatera Barat-Jambi.

“Lubuk Larangan adalah mekanisme regulasi alam paling efektif. Ketika sungai dijaga, ekosistem pulih, dan manfaat ekonominya kembali ke masyarakat saat panen raya,” ujar salah peneliti skenario ekonomi hijau Rimba.

Tokoh adat di Telogo Limo menjelaskan, lubuk larangan bukan hanya pagar fisik, melainkan juga pagar sosial yang membatasi perilaku eksploitasi. Setiap pelanggaran mendapat sanksi adat yang membuat masyarakat patuh pada aturan lingkungan.

Tradisi yang sama juga diterapkan di Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Bahkan di beberapa desa, batas lubuk larangan dipindahkan secara berkala agar setiap bagian sungai memiliki waktu pemulihan.

Metode ini membuat produktivitas sungai meningkat secara alami. Hasil panen raya pada periode buka biasanya menjadi momentum penting bagi masyarakat untuk mengumpulkan dana kegiatan adat dan pembangunan desa.

Revitalisasi ekonomi hijau berbasis budaya

Di Kabupaten Muaro Jambi terdapat inovasi ekonomi berbasis budaya melalui Pasar Paduka yang berada di kawasan percandian Muaro Jambi. Pasar ini didesain untuk menghidupkan kembali identitas tradisional Jambi serta memperkuat ekonomi masyarakat.

Pasar Paduka dibangun menggunakan elemen dari bahan alami, seperti bambu, anyaman, kayu, dan daun. Pendekatan ini diciptakan untuk menghadirkan suasana pasar tradisional yang selaras dengan kawasan heritage.

Potensi ekonomi Nagari Adat Sijunjung, Sumatera Barat. Dok. Liputan Tim Kegiatan Publikasi RIMBA 2025 Potensi ekonomi Nagari Adat Sijunjung, Sumatera Barat.

Inisiatif pembangunan pasar digerakkan oleh tokoh masyarakat Abdul Haviz yang menilai bahwa pasar sebelumnya kurang mencerminkan nilai budaya lokal. Setelah revitalisasi kawasan candi, pasar ini menjadi ruang baru bagi pengembangan UMKM kuliner dan kerajinan.

Pasar Paduka mendapat dukungan dari Balai Pelestarian Kebudayaan dan Bank Indonesia (BI) Provinsi Jambi. Dukungan tersebut diberikan melalui pelatihan kualitas produk, penataan ruang, hingga penguatan strategi pemasaran.

Salah satu keunikan pasar ini adalah penerapan transaksi nontunai menggunakan koin khusus. Pengunjung menukarkan uang tunai atau melakukan scan Quick Response Indonesia Standard (QRIS) dengan koin yang digunakan sebagai alat transaksi di seluruh tenant.

Pasar tersebut juga menerapkan konsep ramah lingkungan karena pedagang dilarang menggunakan plastik sekali pakai. Makanan disajikan dalam wadah berbahan daun, bambu, rotan, atau tempurung sebagai bentuk implementasi ekonomi hijau.

Kuliner yang dijual mencakup apam, kue tradisional, nasi bakar, ketan jando, serta berbagai jajanan khas Jambi. Selain makanan, pedagang juga menjual rempah-rempah, kerajinan rotan, hingga pakaian tradisional.

Pasar Paduka kini berkembang sebagai pusat kegiatan budaya. Festival kuliner, pertunjukan musik tradisional, hingga pameran kerajinan rutin digelar untuk menarik wisatawan.

Model yang dapat direplikasi daerah lain

Beragam praktik adat di Koridor RIMBA menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi hijau dapat berjalan efektif ketika masyarakat lokal menjadi aktor utama.

Tradisi seperti lubuk larangan, batoboh, bakaul, hingga pasar budaya adalah bukti bahwa kearifan lokal mampu menggerakkan ekonomi tanpa merusak lingkungan.

Model pengembangan di Silokek, Sijunjung, dan Muaro Jambi dapat menjadi rujukan bagi wilayah lain. Daerah yang memiliki struktur adat kuat berpotensi mengembangkan ekowisata, pengelolaan sungai berbasis adat, hingga UMKM budaya.

Pendekatan tersebut juga sejalan dengan strategi pemerintah dalam memperkuat ekonomi hijau melalui pemberdayaan masyarakat. Program pendampingan UMKM, pelatihan wisata, dan penguatan kelembagaan adat dapat mempercepat replikasi model serupa.

Praktik adat juga memperkuat kohesi sosial yang menjadi fondasi pembangunan berkelanjutan. Ketika masyarakat memiliki nilai bersama untuk menjaga lingkungan, tekanan terhadap sumber daya alam dapat ditekan lebih jauh.

Pendekatan berbasis adat bahkan relevan dalam menghadapi perubahan iklim. Pengetahuan lokal mengenai masa tanam, pola air, hingga ekologi sungai menjadi modal penting dalam menjaga ketahanan lingkungan.

Pembangunan ekonomi hijau di Koridor Ekosistem RIMBA menjadi momentum penting untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, akademisi, dan mitra pembangunan. Keterlibatan komunitas adat menjadi faktor yang tak terpisahkan dalam menjaga kelestarian bentang alam Sumatera.

Upaya memperluas praktik baik tersebut ke kawasan lain dalam koridor menjadi langkah berikutnya. Dengan memperkuat kapasitas masyarakat dan memperhatikan nilai adat, Koridor RIMBA dapat menjadi contoh nasional dalam pembangunan ekonomi hijau berbasis budaya.

Ke depan, kearifan lokal akan menjadi fondasi penting untuk menjaga masa depan RIMBA. Dengan budaya sebagai akar, masyarakat dapat terus hidup berdampingan dengan alam dan membangun kesejahteraan secara berkelanjutan.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau