KOMPAS.com - Koridor Ekosistem Riau–Jambi–Sumatera Barat (RIMBA) merupakan salah satu kawasan ekologis terpenting di Sumatera.
Kawasan tersebut merupakan salah satu dari lima koridor ekosistem yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 13/2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera serta Kawasan Strategis Nasional (KSN) dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 13/2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Dalam PP tersebut, Kawasan Rimba mencakup tiga (KSN), yakni KSN Taman Nasional Kerinci Seblat, KSN Hutan Lindung Bukit Batabuh, serta KSN Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Berbak.
Membentang melintasi Riau, Jambi, hingga Sumatera Barat (Sumbar), Koridor Ekosistem RIMBA menyatukan berbagai kawasan konservasi, yakni suaka margasatwa, cagar alam, taman nasional, taman wisata alam, serta hutan lindung.
Dengan demikian, Koridor Ekosistem RIMBA tidak hanya menjadi bentang alam yang menghubungkan berbagai ekosistem, tetapi juga jalur penting penyedia air, penyerap karbon, serta penjaga udara bersih bagi jutaan jiwa di tiga provinsi tersebut.
“Koridor Ekosistem RIMBA adalah bukti bahwa tata ruang dapat menjadi jembatan antara perlindungan ekosistem dan pertumbuhan ekonomi hijau yang inklusif,” kata Direktur Perencanaan Tata Ruang Nasional Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nuki Harniati dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (10/12/2025).
Perwujudan ekonomi hijau di Koridor Ekosistem RIMBA juga diperkuat dengan inisiatif energi terbarukan dan mekanisme imbal jasa lingkungan yang dikelola langsung masyarakat.
Berikut adalah praktik ekonomi hijau di Koridor Ekosistem RIMBA.
Salah satu praktik ekonomi hijau yang dilakukan di Kawasan RIMBA adalah agroforestri. Agroforestri atau yang juga disebut wanatani merupakan sistem pengelolaan yang mengombinasikan tanaman pertanian dengan tanaman hutan.
Di Kabupaten Tebo, Jambi, praktik tersebut diterapkan dalam kemitraan perhutanan sosial dengan PT Alam Bukit Tiga Puluh (ABT). Masyarakat yang awalnya hanya menanam satu komoditas, yakni sawit, atau sistem monokultur beralih ke multikultur dengan sistem agroforestri dan silvikultur.
Peralihan sistem tanam tersebut bertujuan untuk meningkatkan biodiversitas dan nilai jasa ekosistem. Secara ekologis, agroforestri juga sangat membantu proses intersepsi air hujan, mengurangi daya pukul air hujan, serta meningkatkan infiltrasi, resapan, dan drainase air lanskap.
Selain di Kecamatan Tebo, sistem agroforestri juga diadopsi Kelompok Tani Khasta untuk budi daya kopi di Kayu Aro, Kerinci, Jambi. Berada di kaki Gunung Kerinci, tanah vulkanik di Desa Sungai Tanduk yang subur ideal untuk budi daya kopi, teh, dan sayur-sayuran.
Dalam menjalankan agroforestri, Kelompok Tani Khasta mengelola kebun kopi dengan konsep zero waste dan circular economy.
Salah satu inovasinya adalah pemanfaatan limbah kulit biji kopi (cascara) sebagai pupuk alami. Melalui inovasi ini, kelompok tani mengubah limbah yang semula tak terpakai menjadi bahan bernilai.
Sebagai bagian dari komitmen keberlanjutan, pencucian biji kopi menggunakan air mengalir dari mata air tanpa mengandalkan air tanah.
Terkait pola tanam, Kelompok Tani Khasta menerapkan sistem tumpang sari. Selain menyediakan naungan yang dibutuhkan tanaman kopi, pola ini juga menyisipkan tanaman bernilai ekonomi tinggi, seperti alpukat Hass, jambu, terong belanda, daun bawang, dan stroberi.
Dengan demikian, petani bisa mencapai nilai ekonomi paling optimal serta menemukan adaptasi yang paling cocok untuk menghadapi perubahan iklim.
Sayangnya, perubahan iklim membuat suhu udara kian panas di Desa Sungai Tanduk. Padahal, kawasan ini berada di dataran tinggi Kayu Aro yang seharusnya bersuhu lebih dingin ketimbang wilayah lain. Akibat kenaikan suhu, petani menghabiskan waktu lebih lama untuk beristirahat saat cuaca terik. Kondisi ini membuat jam kerja petani menjadi berkurang.
Di samping sektor perkebunan, ekowisata berbasis masyarakat juga berperan penting dalam pengembangan perdesaan.
Model ini tidak hanya menyuguhkan sumber daya wisata alam, tetapi juga berkontribusi pada konservasi lingkungan. Sebab, dalam ekowisata, masyarakat bertindak sebagai tokoh utama dalam pengendalian dan pengembangannya.
Ekowisata yang telah berjalan di Kawasan RIMBA adalah Geopark Silokek, Kapalo Banda, Lembah Harau, dan Suaka Margasatwa Rimbang Baling di Sumatera Barat serta Candi Muaro Jambi di Jambi.
Candi Muaro Jambi merupakan situs purbakala yang diyakini sebagai salah satu pusat pengembangan agama Buddha pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Keyakinan ini diperkuat corak Buddhisme dan penemuan tulisan aksara Jawa Kuno pada candi tersebut.
Candi Muaro Jambi. Situs tersebut membentang sepanjang 7,5 km di tepian Sungai Batanghari dan berjarak 30 km dari Jambi. Candi ini dapat ditempuh melalui darat dan sungai.
Dari sekitar 80 reruntuhan candi (disebut menapo oleh warga setempat), baru sebagian kecil yang dipugar. Reruntuhan ini didominasi bangunan berbahan batu merah.
Jika berkunjung ke Candi Muaro Jambi, pengunjung mendapati berbagai spot menarik, seperti Candi Vando Astano, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar Batu, Candi Gedong 1, Candi Gedong 2, dan kolam Talaga Rajo.
Tak hanya cagar budaya, Candi Muaro Jambi juga menjadi aset serbaguna yang dapat dimanfaatkan untuk penelitian di berbagai sektor, seperti pariwisata, sosial, agama, dan ekonomi.
Dalam pengembangan ekowisata, pengelola telah menerapkan praktik ekonomi hijau di kompleks candi melalui penerapan green technology. Inisiatif ini diwujudkan melalui pemanfaatan sepeda listrik sebagai transportasi di sekitar area candi.
Inisiatif ini berkontribusi positif dalam mengurangi emisi karbon, mengurangi polusi udara, serta hemat energi.
Kemudian, Daerah Silokek di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar), berada di ketinggian 150-600 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kawasan ini dikelilingi hutan tropis, air terjun, goa, serta batuan karst yang menjulang tinggi.
Batuan karst tersebut merupakan dasar laut yang terangkat dan terbentuk melalui pelapukan kimiawi jutaan tahun lalu.
Tebing karst tersebut memiliki kemiringan landai hingga bergelombang pada ketinggian 200 hingga 400 mdpl. Sementara itu, daerah puncak bukit karst berada pada ketinggian 500 sampai 600 mdpl. Punggungan bukit memanjang dengan ukuran rata-rata panjang 400 hingga 600 meter dan lebar 100 sampai 150 meter.
Di antara bukit karst, terdapat air terjun yang mengaliri lereng perbukitan. Air terjun ini mengaliri bukit yang dikelilingi hutan dengan aneka ragam flora dan fauna, seperti bunga bangkai raksasa (Amorphophallus titanum), burung enggang (Buceros vigil), serta harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Keberadaan bukit karst juga ditandai dengan goa atau ngalau yang dialiri sungai. Dalam goa ini, terdapat stalaktit dan stalakmit yang terbentuk melalui pelarutan air.
Geopark Silokek. Geopark Silokek yang meliputi seluruh Kabupaten Sijunjung bermanfaat bagi konservasi, edukasi, dan pembangunan perekonomian masyarakat secara berkelanjutan. Kekayaan geologi, biologi, dan budaya kawasan ini terinventarisasi dengan baik oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat.
Ekowisata berikutnya adalah Rawa Bento yang merupakan rawa alami di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Berada di ketinggian 1.333 mdpl, rawa ini menjadi yang tertinggi di Sumatera.
Rawa Bento menjadi obyek wisata yang kerap dikunjungi di Jambi karena menawarkan pemandangan Gunung Kerinci dan aktivitas birdwatching dengan naik perahu.
Untuk menjaga ekosistem rawa, masyarakat sekitar memiliki kesadaran pelestarian lingkungan yang tinggi dan menyalurkan potensi wilayahnya melalui ekowisata minat khusus.
Terlebih, Rawa Bento memiliki ekosistem yang tidak dimiliki kawasan lain, seperti vegetasi hutan rawa yang didominasi pohon empening putih (Quertus umalocos) dan balangeran (Shorea balangeran).
Rawa Bento. Akar pohon yang terbenam di rawa menjadi sarang ikan. Hal ini memudahkan burung air untuk memakan ikan, tumbuhan air, dan plankton. Oleh karena itu, kawasan tersebut perlu dilestarikan demi keberlangsungan habitat burung air.
Saat ini, praktik wisata di Rawa Bento berhasil memberikan pemasukan bagi kelompok masyarakat yang terlibat.
Selanjutnya terdapat ekowisata Suaka Margasatwa Rimbang Baling di Kabupaten Kampar, Riau. Praktik ekowisata Suaka Margasatwa Rimbang Baling, yakni Lubuk Larangan, mengantarkan Desa Tanjung Belit masuk 50 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI).
Lubuk Larangan merupakan tradisi larangan mengambil hasil sungai pada wilayah yang dibatasi.
Setelah jangka waktu tertentu, lubuk larangan dibuka untuk dipanen hasilnya. Batasnya kemudian dipindahkan ke tempat lain.
Sistem tersebut memastikan masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya alam dengan terkendali sekaligus memastikan keberlangsungannya untuk generasi mendatang.
Melalui tradisi tersebut, praktik eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan merusak lingkungan dilarang. Alhasil, masyarakat dapat memelihara dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Penerapan ekonomi hijau di RIMBA tidak hanya fokus pada konservasi, tetapi juga pada penciptaan mata pencaharian yang adil dan inklusif. Inisiatif ini dilakukan dengan mengintegrasikan praktik berkelanjutan dalam penggunaan energi hijau.
Salah satu desa yang menerapkan praktik energi hijau di Kawasan Rimba adalah Desa Senamat Ulu, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.
Di sana, masyarakat desa memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Batang Senamat dengan memanfaatkan aliran air sungai secara ramah lingkungan untuk menyediakan energi listrik. Inisiatif ini menegaskan kemandirian energi di tingkat lokal.
PLTMH Senamat Ulu. Beroperasi sejak 2017, PLTMH Batang Senamat mampu mengaliri listrik 250 watt ke 200 rumah warga pada pukul 17.00 hingga 19.00 WIB. Masyarakat cukup membayar Rp 50.000 per bulan untuk bisa menikmati energi ini.
Menariknya, wilayah sekitar PLTMH juga ditetapkan sebagai lubuk larangan. Dengan demikian, masyarakat dilarang memancing ikan di sekitar PLTMH guna mempertahankan kualitas air.
Inisiatif lingkungan yang lebih luas di Koridor Ekosistem Rimba terwujud melalui skema Payment for Ecosystem Services (PES) atau Imbal Jasa Lingkungan. PES adalah upaya pembayaran insentif kepada petani atau penggarap lahan atas pengelolaan lahan yang memanfaatkan jasa ekologinya.
Di Koridor Ekosistem RIMBA, terdapat dua lokasi yang menerapkan PES, yakni Desa Sungai Telang dan Desa Durian Rambun di Jambi.
Berlokasi di Kecamatan Bathin III Ulu, Desa Sungai Telang menerapkan skema PES karbon seluas 5.336 ha di Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba).
Skema tersebut berjalan melalui pasar karbon sukarela dengan transaksi perdana dilakukan pada 2018. Adapun dana imbal hasil karbon berturut-turut mencapai Rp 350 juta pada 2019 dan Rp 1 miliar pada 2020. Skema ini berakhir pada 2023.
Setiap desa pengelola hutan mendapatkan Rp 200 juta yang dialokasikan untuk restorasi lahan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK), patroli hutan, serta pengembangan ekonomi alternatif.
Sementara itu, Desa Durian Rambun yang berada di sebelah timur Kecamatan Muara Siau menerapkan PES dari masyarakat lokal.
Pemerintah Desa (Pemdes) Durian Rambun memiliki pengelolaan skema PES yang baik berkat dukungan dan kemauan masyarakat untuk menerapkan praktik ekonomi hijau.
Salah satu contohnya adalah pembuatan depot air galon oleh kelompok ibu-ibu Kemuning yang memanfaatkan air dari sumur bor. Sebelumnya, warga menggunakan air yang bersumber dari air tadah hujan.
Kisah sukses pengelolaan ekonomi hijau berbasis komunitas di RIMBA menunjukkan bahwa konservasi dan pertumbuhan ekonomi dapat berjalan beriringan. Kunci keberhasilan terletak pada kolaborasi multipihak yang terencana serta didukung kerangka kebijakan Ekonomi Hijau.
Hal ini penting agar natural capital Sumatera terus terjaga dan memberikan manfaat berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat, mulai dari hulu hutan hingga hilir perekonomian.
Saat ini, kawasan RIMBA tidak hanya berjuang mempertahankan harimau dan gajah, tetapi juga memimpin jalan bagi Indonesia menuju model pembangunan yang inklusif, adil, dan bertanggung jawab.