JAKARTA, KOMPAS.com — Sepanjang 2025, banyak perusahaan di Indonesia menerapkan pola hati-hati dalam merekrut talenta. Pola “replace-only” atau hanya melakukan perekrutan untuk mengisi kursi kosong tanpa ekspansi besar pun kerap ditemui.
Di sisi lain, angka resign sukarela cenderung menurun. Pasalnya, banyak pekerja memilih bertahan serta menimbang ulang risiko adaptasi dan masa percobaan di tempat baru. Maka tak heran, fenomena “job-hugging” muncul di lintas industri.
Associate Director & Career Products Leader Mercer Indonesia, Yosef Budiman, menjelaskan, dinamika ini semakin terasa saat perusahaan menutup buku 2025 dan menatap 2026.
Dalam lanskap seperti itu, cara perusahaan mengapresiasi kinerja pun bergeser. Tidak lagi “naik rata untuk semua”, tetapi menempatkan setiap rupiah di titik paling berdampak. Hal ini dilakukan untuk memastikan talenta kunci tetap terjaga, struktur tetap adil, dan biaya tenaga kerja terkendali.
Yosef menambahkan, penyesuaian dalam hal gaji tetap ada. Namun, aspek yang berubah adalah ketepatan sasarannya. Dengan mengedepankan ketepatan dan nilai jangka panjang, perusahaan memilih untuk memperjelas prioritas anggaran,” jelasnya.
Survei Total Remunerasi (Total Remuneration Survey/TRS) 2025 yang dirilis Mercer Indonesia memproyeksikan, rerata kenaikan gaji pada 2026 berada di angka 5,8 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan dua tahun terakhir.
Untuk diketahui, berdasarkan survei TRS pada 2023 dan 2024, rata-rata kenaikan gaji lintas industri di Indonesia berada di kisaran 6 hingga 6,3 persen.
Meski terdapat penurunan, Yosef menekankan bahwa angka tersebut bukan sinyal rem total, melainkan panggilan bagi perusahaan untuk alokasi yang lebih presisi dengan mendorong peran berkontribusi tinggi dan keahlian langka sambil menjaga pay equity.
Sejalan dengan itu, prioritas kebijakan perusahaan turut bergeser. Fokusnya lebih mencegah salah alokasi dan mengarahkan bujet ke hal yang paling terasa dampaknya bagi karyawan dan bisnis.
Sebagai contoh, fairness, produktivitas (termasuk upskilling), digitalisasi HR, serta kesehatan, mulai dari medical check-up dan skrining sampai dukungan mental health dan financial wellness.
“Kehadiran komponen non-gaji yang relevan semakin penting ketika ruang kenaikan gaji menipis. Sebab, kalau pikiran karyawan terus disita urusan finansial pribadi, fokus kerja ikut bocor,” ujar Yosef dalam wawancara khusus bersama Kompas.com, Kamis (11/12/2025).
Dengan konteks itu, fokus perusahaan bergerak dari “berapa besar” ke “seberapa tepat”.
Retensi dan polarisasi merit
Karena ruang kenaikan menyempit, perusahaan berupaya memoles skala prioritas sampai level jabatan menggunakan dua pola.
Pertama, peran berkontribusi tinggi atau skill langka cenderung mendapat porsi merit lebih tebal atau spot adjustment agar tidak mudah “dipetik” pasar.
Kedua, penjagaan pay equity di seluruh struktur supaya tidak muncul “gunung–lembah” yang merusak moral tim.
“Penyesuaian gaji menunjukkan dinamika yang berbeda antar segmen tenaga kerja. Tenaga kerja dengan gaji UMR ataupun mendekati UMR tentunya akan mengikuti kenaikan gaji sesuai UMR, sementara untuk tingkat profesional, perusahaan menerapkan pendekatan yang lebih terarah dalam menentukan kenaikan gaji,” jelas Yosef.
Oleh karena itu, ketepatan sasaran menjadi pembeda antara kebijakan yang sekadar naik dan yang benar-benar berdampak pada kinerja.
Penajaman prioritas itu bukan hanya soal angka di slip gaji, melainkan cara kerja dan manfaat pendukung juga ikut ditata ulang agar selaras.
Penyesuaian kebijakan kerja
Salah satu temuan menarik dalam TRS 2025 adalah mulai banyak perusahaan mengurangi porsi bekerja dengan sistem remote atau hybrid.
Menurut Yosef, keputusan itu diambil untuk memenuhi kebutuhan kolaborasi lintas fungsi, onboarding yang lebih cepat, dan perawatan budaya kerja setelah periode panjang bekerja dari rumah (WFH).
Seiring hal tersebut, benefit era WFH disesuaikan kembali. Contohnya, bantuan internet atau listrik rumah yang dulu diberikan untuk mendukung kegiatan WFH, dapat dialihkan menjadi benefit lain, misalnya benefit untuk klaim biaya transportasi sehari-hari.
“Prinsipnya tidak mengurangi pendapatan, tetapi memastikan manfaatnya tetap terasa dalam pola kerja yang lebih sering tatap muka,” katanya.
Pada saat yang sama, pembedaan upah regional (regional pay) masih lazim, terutama untuk level individual contributor, dengan rujukan pada upah minimum regional (UMR) setempat.
Hal itu, katanya, membuat paket kompensasi lebih kontekstual tanpa mengorbankan keadilan di internal.
Tantangan berbeda di setiap industri
Penataan ulang kebijakan kerja tersebut berjalan beriringan dengan peta industri yang tidak selalu seragam. Sebab, setiap sektor merespons berbeda sesuai tantangan yang dihadapi.
Yosef mencontohkan, di industri otomotif pendekatan terhadap kenaikan gaji dan benefit cenderung dilakukan secara lebih hati-hati. Hal ini dipengaruhi kinerja industri dan persaingan yang lebih ketat dipasar.
Sementara itu, sektor consumer products menunjukkan tingkat kepercayaan yang relatif baik, seiring dengan permintaan terhadap produk esensial yang tetap bergerak, didukung oleh fokus pada value for money dan efisiensi distribusi.
Associate Director & Career Products Leader Mercer Indonesia Yosef Budiman. Kemudian, industri chemical di sejumlah kluster tampak lebih optimistis, terutama untuk perusahaan yang memiliki revenue yang lebih stabil.
Implikasinya, ruang meritnya pun berbeda. Yosef mengatakan, sektor yang optimistis punya napas sedikit lebih panjang untuk mendorong peran prioritas.
Di sektor yang berhati-hati, perusahaan menajamkan alokasi dengan menaikkan peran krusial, menahan yang dampaknya rendah, seraya menguatkan komunikasi internal agar kebijakan dipahami.
Daya saing kompensasi Indonesia di Asia
Selain tantangan masing-masing industri yang berbeda, Mercer Indonesia juga melihat bahwa daya saing kompensasi Indonesiaidak seragam. Hal ini disebabkan oleh jenis industri dan skillset ketimbang sekadar status perusahaan multinasional ataupun perusahaan lokal.
Yosef menilai, jaraknya tidak selebar dahulu lantaran banyak perusahaan lokal memperkuat employee value proposition, seperti kecepatan pengambilan keputusan, ruang belajar yang nyata, dan jalur karier yang lebih jelas.
Pada peran digital atau tech spesialis, seperti kecerdasan buatan (AI) dan keamanan siber, persaingan regional masih ketat.
Namun, premi yang sempat “menggelembung” beberapa tahun lalu cenderung kembali normal sehingga selisih dengan jabatan lain idak makin melebar. Bahkan, di sejumlah jabatan mulai menyempit.
Gaji sebagai hygiene factor
Untuk 2–3 tahun ke depan, Yosef menyebut, gaji masih menjadi hygiene factor yang menjadi pertimbangan utama karyawan. Menurutnya, gaji harus kompetitif dan adil sampai ambang tertentu, lalu diferensiasi datang dari fleksibilitas, kesehatan/keamanan finansial, dan jalur karier.
Apalagi, kata Yosef, setiap generasi karyawan punya cara pandang dan kebutuhan yang berbeda. Misalnya, Gen Z yang menginginkan adanya fleksibilitas ritme kerja, Gen Y dan milenial yang menginginkan kepastian jalur karier dan kesempatan upskilling, serta Gen X yang menginginkan benefit lebih yang berkaitan dengan kesehatan dan pension.
Dari benchmark ke aksi
Menjelang finalisasi anggaran 2026, Yosef menyarankan perusahaan mengawinkan dua lensa dalam meramu kompensasi untuk karyawan, yakni tren eksternal, seperti TRS 2025 serta kondisi dan preferensi internal karyawan agar relevan dengan kebutuhan perusahaan maupun karyawan
Ia pun menyarankan tiga langkah yang dapat dilakukan perusahaan.
Yosef menyampaikan bahwa kunci pengelolaan gaji dan benefit ke depan adalah memperkuat ketepatan alokasi yang mengacu pada data pasar dan preferensi internal, sehingga penyesuaian yang dilakukan benar-benar dirasakan di area yang paling relevan.
“Kenaikan tetap ada. Tantangannya adalah memastikan penyesuaian tersebut memberikan dampak yang nyata dan tepat sasaran,” ucap Yosef.