KOMPAS.com – Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mendorong pemerintah daerah (pemda) memanfaatkan skema pembiayaan kreatif sebagai alternatif pendanaan pembangunan.
Langkah itu menjadi respons atas rencana pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN Tahun 2026 yang memicu kekhawatiran di sejumlah daerah terkait keberlanjutan program pembangunan infrastruktur daerah dan pelayanan publik.
"Pemda didorong untuk terus meningkatkan pemanfaatan pembiayaan kreatif sebagai strategi pendanaan pembangunan untuk peningkatan kualitas pelayanan publik," ujar Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah DJPK Kemenkeu Adriyanto dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (23/12/2025).
Rencana pemangkasan TKD dinilai berpotensi berdampak signifikan, terutama bagi daerah yang masih sangat bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.
Namun, DJPK memandang kondisi itu sebagai momentum bagi daerah untuk menjadi lebih adaptif dan mandiri secara fiskal.
Anggaran yang ketat justru dapat menjadi pemicu penguatan ketahanan fiskal daerah melalui inovasi pembiayaan, peningkatan efisiensi belanja, dan perbaikan ketepatan sasaran program publik.
UU HKPD beri ruang inovasi pembiayaan
Dalam konteks terobosan pembiayaan alternatif, Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) menjadi payung hukum yang memberi ruang luas bagi pemda untuk berinovasi.
Lewat sejumlah pasal, regulasi tersebut menegaskan bahwa pembiayaan utang daerah tidak hanya berasal dari pinjaman konvensional, melainkan dapat bersumber dari pinjaman berbasis syariah, obligasi daerah, dan sukuk daerah.
Salah satunya, Pasal 154 ayat (1) UU HKPD yang secara eksplisit menyebut bahwa daerah dapat melakukan pembiayaan utang daerah.
Kemudian, Pasal 157 ayat (1) merinci lebih lanjut dengan membuka peluang penerbitan obligasi daerah dan/atau sukuk daerah untuk membiayai kegiatan yang memberi manfaat publik dan memiliki arus pendapatan jelas.
Tidak hanya itu, Pasal 155 juga memperluas sumber pinjaman yang dapat diakses pemda. Pemda kini dapat meminjam dari pemerintah pusat, pemda lain, lembaga keuangan bank, dan lembaga keuangan nonbank.
Dengan perluasan tersebut, pemda mendapatkan variasi instrumen pembiayaan yang sebelumnya relatif terbatas.
Lebih dari sekadar instrumen utang, UU HKPD juga mendorong kemitraan dengan sektor swasta. Pasal 167 membuka peluang bagi pemda untuk melakukan kerja sama pembiayaan dan/atau penyediaan infrastruktur dengan pihak ketiga, termasuk skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Ketentuan tersebut menjadi fondasi hukum yang memungkinkan daerah mengakselerasi pembangunan infrastruktur tanpa sepenuhnya bergantung pada APBD.
Di sejumlah daerah, KPBU telah digunakan untuk membangun sistem penyediaan air minum, pengolahan sampah, hingga infrastruktur transportasi.
Salah satu contoh implementasi KPBU APJ adalah di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Proyek APJ di Madiun berhasil memasang sebanyak 7.459 titik lampu penerangan yang tersebar sepanjang sekitar 299,7 km jalan, yang mencakup jalan nasional, kabupaten, perkotaan, dan lingkungan. KPBU untuk infrastruktur APJ
Salah satu implementasi KPBU yang kini makin dilirik adalah pembangunan Alat Penerangan Jalan (APJ) atau penerangan jalan umum. Infrastruktur ini dapat dibangun melalui dua skema.
Pertama, pinjaman konvensional dengan pengadaan langsung oleh pemda. Kedua, melalui KPBU yang merupakan kerja sama pemda dengan badan usaha dalam penyediaan layanan infrastruktur untuk kepentingan umum berdasarkan perjanjian kedua belah pihak dengan memperhatikan prinsip pembagian risiko.
Dalam skema KPBU, beban biaya konstruksi, operasi, dan pemeliharaan tidak dibebankan sepenuhnya kepada pemda, tapi adanya berbagi risiko dengan badan usaha yang melaksanakan.
Pemda memperoleh layanan penerangan jalan tanpa harus menanggung seluruh biaya di muka, sementara badan usaha pelaksana bertanggung jawab terhadap instalasi, operasional, perawatan, dan pengembalian aset setelah masa konsesi.
Fasilitasi penjaminan KPBU dilaksanakan oleh lembaga seperti PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII), yang menyediakan penjaminan finansial agar proyek dapat memperoleh pembiayaan dari lembaga keuangan.
KPBU menawarkan alternatif pembiayaan pembangunan daerah yang efektif, sekaligus memastikan risiko finansial tetap terkelola secara prudent.
Pemda tetap memenuhi kebutuhan penerangan jalan umum tanpa mengurangi alokasi belanja prioritas lainnya.
Pembelajaran dari Kabupaten Madiun
Salah satu contoh implementasi KPBU APJ adalah di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Proyek APJ di Madiun berhasil memasang sebanyak 7.459 titik lampu penerangan yang tersebar sepanjang sekitar 299,7 km jalan, yang mencakup jalan nasional, kabupaten, perkotaan, dan lingkungan.
Proyek yang diresmikan pada 2023 itu dinilai dapat menjadi model kolaborasi publik-swasta yang berhasil.
Meski demikian, implementasi KPBU juga menghadapi tantangan, terutama dalam memastikan kelayakan pembiayaan proyek, dukungan perbankan, serta keberadaan perjanjian dan penjaminan yang kuat.
Selain itu, pengawasan layanan tetap menjadi aspek krusial, mulai dari memastikan lampu jalan berfungsi optimal, pemeliharaan rutin dilakukan, hingga penerapan sistem efisiensi energi yang dijalankan sesuai target.
Tantangan kapasitas teknis
Meski memiliki potensi besar, berbagai skema pembiayaan alternatif seperti blended finance, obligasi daerah tematik (misalnya green bonds), kerja sama pemanfaatan aset, ataupun KPBU skala kecil masih relatif minim dimanfaatkan.
Kondisi itu tidak terlepas dari keterbatasan kapasitas teknis serta kehati-hatian berlebihan pemda dalam memitigasi risiko.
Di tengah menyempitnya ruang fiskal nasional, pendekatan yang bersifat pasif dan konvensional tidak lagi memadai.
UU HKPD justru menyediakan landasan dan instrumen yang lebih kuat bagi daerah untuk memperbaiki tata kelola pendapatan sekaligus memobilisasi sumber pembiayaan jangka panjang.
Tantangan utama bukan terletak pada ketersediaan instrumen, melainkan pada komitmen kepala daerah dan kesiapan teknis pemda dalam memanfaatkan peluang pembiayaan tersebut.
Tuntutan efisiensi belanja daerah
Momentum pemangkasan TKD juga harus diselaraskan dengan refleksi serius mengenai kualitas belanja daerah. Selama bertahun-tahun, banyak daerah mengeluhkan besarnya beban belanja wajib dan belanja pegawai, tetapi jarang melakukan transformasi signifikan untuk mendorong efisiensi.
Program pembangunan sering kali tidak tepat sasaran, terlalu administratif, dan tidak berbasis bukti. Jika ruang fiskal menyempit, tuntutan untuk memastikan setiap rupiah benar-benar dirasakan penerima manfaat yang paling membutuhkan menjadi lebih mendesak.
Pendekatan data-driven, pemetaan kemiskinan multidimensi, pemanfaatan digitalisasi layanan, dan integrasi data lintas sektor harus menjadi prinsip utama dalam perencanaan daerah. Hal ini sejalan dengan agenda pemerintah pusat untuk memperkuat akuntabilitas fiskal.
Pemangkasan TKD sebagai momentum transformasi
DJPK menekankan bahwa pemangkasan TKD tidak identik dengan kemunduran desentralisasi. Sebaliknya, kebijakan ini bisa menjadi pengungkit reformasi fiskal di daerah, asalkan pemda merespons dengan inovasi dan kreativitas kebijakan, bukan sekadar menunggu transfer tambahan.
Selama 25 tahun desentralisasi banyak pelajaran ditemukan bahwa ketergantungan fiskal berdampak pada risiko jangka panjang bagi kemandirian daerah.
Karena itu, perubahan lingkungan fiskal ini seharusnya mendorong daerah untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan pendapatan, memperbaiki kualitas belanja, dan memperluas sumber pembiayaan pembangunan.
Pemda dapat memanfaatkan momentum ini untuk mendorong inovasi pembiayaan kreatif, termasuk kerja sama pemanfaatan aset dengan pihak swasta, dan instrumen fiskal modern lainnya.
Upaya tersebut perlu diiringi dengan peningkatan efisiensi belanja dan ketepatan sasaran program.
Dengan begitu, pemangkasan TKD bukan hanya sekadar penyesuaian anggaran, melainkan menjadi titik awal transformasi desentralisasi fiskal. Pemda tidak lagi sekadar penerima, tetapi tampil sebagai penggerak utama pembangunan yang adaptif, inovatif, dan berkelanjutan.
Langkah tersebut menandai pergeseran menuju tata kelola lebih berani, responsif, dan berorientasi masa depan sebagai fondasi kuat bagi kemajuan daerah yang berdaya tahan dan berdaya saing.