Narkotika

Bali Jadi Target "Tim Siluman" BNN

Kompas.com - 13/03/2012, 03:29 WIB

Masih ingat kerusuhan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Badung, Bali, Sabtu (25/6/2011) pukul 01.00? Menjelang kerusuhan, tim Badan Narkotika Nasional yang dipimpin Direktur Penindakan dan Pengejaran BNN (dulu disebut Direktur Pemberantasan Narkotika Alami BNN) Brigadir Jenderal Benny Joshua Mamoto mendadak datang ke lapas itu mencari terpidana kasus sabu, Didi Riyadi, yang mantan anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror.

Kedatangan mereka yang mendadak pada pagi buta itu membuat sipir kaget. Benny dan timnya datang dan melihat sel di Blok H yang dihuni Didi kosong. Mereka menemukan Didi di Blok C2 sedang mengonsumsi sabu dan berjudi.

Ketika diminta uji urine, ia melawan. Ia lalu memprovokasi para narapidana di blok itu. Tak dinyana, mereka tersulut kepiawaian Didi dan menghunus puluhan senjata tajam. Kerusuhan cepat meluas. Lapas dibakar.

BNN pun dikecam menyalahi prosedur dan dicap sebagai ”si pembuat onar”. Namun, hal itu tak membuat BNN surut. Setelah ikut membiayai pembangunan kembali Lapas Kerobokan, BNN melanjutkan menggarap Bali sebagai target utama ”tim siluman”-nya. Alasannya, pasar narkoba di Bali mulai meluas, menyaingi Jakarta, serta sudah melibatkan sebagian sipir dan organisasi massa lokal di Bali.

Sebagian anggota tim siluman BNN ini direkrut dari Detasemen Khusus 88 Antiteror. Mereka dilengkapi fasilitas teknologi informasi canggih serta perangkat senjata api laras panjang dan pendek terbaru berikut perangkat perisai tubuh (body protector). Mereka piawai menembak, memata-matai dan menyusup, lalu menghilang.

Hit and run, tangkap dan menghilang. Setelah menetapkan target, mereka terbang ke tujuan, menangkap dan membawa para pelaku, lalu kembali ke markas BNN di Jakarta, hari itu juga. Secara maraton, mereka memeriksa para tersangka, mengungkap mata rantai jaringan hingga ke hulu, kembali terbang ke sejumlah sasaran, dan melakukan penangkapan-penangkapan.

Akan tetapi, aksi mereka bukan tanpa hambatan. Kadang mereka terhambat ke luar dari bandara untuk masuk kota karena urusan ”koordinasi” dengan aparat atau instansi setempat. Maklum, penampilan mereka bak pasukan antiteror.

Setiap beraksi, mereka keluar dari pesawat carteran dengan wajah tertutup masker. Mereka memakai seragam berperisai, termasuk topi baja antipeluru serta senjata laras panjang dan pendek. Saat mereka datang, dua sampai tiga mobil yang akan membawa mereka ke lokasi sudah menunggu di depan apron (tempat parkir) pesawat.

Umumnya mereka datang tiba-tiba di bandara pada tengah malam atau dini hari. Hal inilah yang membuat mereka kadang dicurigai para petugas lapangan.

Agar gerakan mereka tak terhambat, elite BNN membangun rapat jaringan komunikasi dengan elite TNI, Polri, para menteri, bahkan dengan kalangan di istana. Selain itu, setiap menjelang tim datang, BNN telah menyebar anggotanya di kota yang hendak dituju.

Pekan lalu, mereka berencana mengungkap jaringan baru bisnis gelap kokain dan sabu di Bali. Sayang, saat tim siluman datang, suasana di lokasi target memanas. Dua mobil membawa mereka kembali ke bandara. Mereka hanya membawa empat tersangka kurir yang sudah ditangkap beberapa hari sebelumnya.

Keempat tersangka adalah Hairus Sabirin (25), Maulid Ardianto (24), Faisal (25), dan Ferry Irawan (30). Dari tangan Ferry disita 528,5 gram kokain. Dari tangan Maulid dan Hairus disita 704,2 gram sabu, sedangkan dari Faisal disita 95,8 gram sabu. Mereka ditangkap saat menerima paket narkoba tersebut.

Paket kokain disembunyikan di antara 178 kancing tujuh gaun. Kokain disimpan di antara rongga kancing yang terbuat dari logam. Setelah ke-178 kancing dicongkel, petugas mengumpulkan dan menimbang kokain yang berat seluruhnya 528,5 gram. Nilai kokain itu diduga mencapai Rp 2 miliar.

Paket kokain datang dari India dan hendak dikirim ke Denpasar lewat Jakarta. Sejak paket tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten, paket sudah diawasi tim BNN. Saat Ferry, pemuda asal Kediri itu, mengambil paket tersebut di kantor FedEx di Jalan Bebas Hambatan Ngurah Rai, Kamis (8/3) pukul 13.00 waktu setempat, ia ditangkap.

Pada hari yang sama, dua jam sebelumnya, tim BNN menangkap Hairus dan Ardi (Maulid Ardianto), dua pemuda asal Banyuwangi, Jawa Timur, di Jalan Pulau Moyo, Kelurahan Pedungan, Denpasar Selatan. Keduanya ditangkap saat menerima paket alat pemijat kaki dari perusahaan pengiriman paket UPS. Sebanyak 704,2 gram sabu asal Thailand itu disembunyikan di balik alat pemijat kaki

Sehari sebelumnya, tim menangkap Faisal, pemuda asal Padalarang, Jawa Barat, yang mengaku baru sepekan tinggal di Denpasar. Ia ditangkap saat mengambil paket dua dus berisi DVD. Setelah paket dibongkar, petugas menemukan 95,8 gram sabu.

Keempat tersangka dibawa menuju pesawat dengan mata tertutup. Saat tiba di Jakarta, Sabtu pukul 02.00, mereka dibawa ke markas BNN dengan kawalan ketat tim siluman.

Saat Benny dihubungi kembali, Sabtu malam, ia dan tim silumannya sudah terbang ke tiga lokasi lain yang masih dirahasiakan. Belakangan, ia merasa lebih bersemangat setelah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia membantu BNN membersihkan lapas dari bisnis gelap sabu.

Ia mengatakan, kalau semua pihak bekerja keras, target Indonesia bebas dari narkoba tahun 2015 bisa tercapai. (Windoro Adi)

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang

Halaman:
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau