PURWAKARTA, KOMPAS.com - Selain Taman Air Mancur Sri Baduga, di dekat Situ Buleud, Purwakarta, orang akan menemukan Gedung Kembar. Nama gedung tersebut disematkan masyarakat Purwakarta, karena kedua bangunan itu memiliki bentuk yang serupa dengan letak berdampingan.
Tak ada orang mengetahui tahun berdirinya gedung bergaya arsitektur Eropa tersebut. Namun, bangunan itu diperkirakan didirikan pada paruh kedua abad ke-19 M, yaitu setelah Kota Purwakarta ditetapkan sebagai ibukota Keresidenan Karawang, 1854 silam.
Menurut masyarakat sekitar, dulunya salah satu bangunan itu adalah toko sepatu terbesar di Purwakarta, namanya “Janam” milik keturunan Tionghoa. Gedung satunya lagi merupakan toko kamera milik Jepang.
"Dulunya toko sepatu dan kamera. Luas satu bangunan sekitar 1.200 meter persegi," ujar Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, belum lama ini.
Dalam perkembangannya, gedung tersebut berubah-ubah kepemilikan dan peruntukkannya, namun tidak mengalami perubahan fisik bangunan. Di zaman revolusi gedung itu pernah digunakan sebagai markas Badan Keamanan Rakyat (BKR), dan terus berganti menjadi sekretariat koperasi, PWI, Gibas, loper koran, hingga wartel.
Memasuki kepemimpinan Dedi Mulyadi, gedung tersebut diambil alih oleh Pemkab Purwakarta untuk dijadikan kantor dan perpustakaan. Penataan terus dilakukan tanpa mengubah bentuk aslinya. Salah satunya, menyulap satu bangunan menjadi Museum Diorama Bale Panyawangan dan Museum Diorama Nusantara.
"Nantinya, di gedung satunya lagi akan dibangun Museum Islam Nusantara sehingga gedung-gedung ini lebih bisa dinikmati masyarakat dan memberikan banyak pengetahuan tentang peradaban di Indonesia dan dunia," ujar Dedi.
Pembangunan Museum Islam Nusantara masih dalam proses lelang. Saat ini bangunan seluas 1.200 meter tersebut digunakan sementara untuk Dinas Informasi dan Komunikasi serta salah satu kantor bupati.
Berbeda dengan kantor-kantor pada umumnya, bangunan ini menyuguhkan banyak lukisan, mulai pemimpin Indonesia sampai pemimpin dunia. Lukisan Soekarno, Bung Hatta, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Jenderal Soedirman, hingga M. Jusuf terpampang di sini.
Sementara itu, lukisan pemimpin dunia antara lain Mahatma Gandhi, John F Kennedy, serta Che Guevara. Ada juga tokoh yang dihormati masyarakat seperti Mbah Marijan.
Tak hanya itu. Ada juga lukisan dewa seperti Dewi Welas Asih, Kwan Im, serta lukisan-lukisan bertuliskan kaligrafi Arab.
"Setiap ruangan saya pasti ada lukisan keluarga, ibu, presiden, tokoh-tokoh dunia yang menginspirasi, serta pewayangan," ucapnya.
Lukisan-lukisan tersebut bisa dinikmati di setiap ruang dan lorong yang menghubungkan sekitar tujuh ruangan tersebut.
"Saya memilih lukisan karena lukisan sebuah karya yang memiliki transendensi kemanusiaan," kata Dedi.
Uniknya, dari berbagai lukisan pemimpin Indonesia, gedung ini hanya memajang empat presiden, yakni Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, dan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Hal tersebut dikarenakan sang bupati mengaku paling terinspirasi dari keempat sosok itu.
Soekarno, lanjut Dedi, merupakan sosok yang memiliki gagasan ideologis dengan kemampuan retoris yang luar biasa.
"Dia itu pemikir, penulis, bahkan orator, sehingga tumbuh pada zamannya menjadi seseorang yang mampu memotivasi bagi seluruh masyarakat untuk melawan koloinalisme," terangnya.
Sementara BJ Habibie, bagi Dedi, adalah sosok nasionalis visioner teknokrat yang memiliki semangat keindonesiaan luar biasa. Dari Pare-Pare hingga ke Jerman, namun Habibie sangat Indonesia. Habibie pun berhasil menyelamatkan Indonesia dari krisis.
"Kecepatan dalam berpikir, kecepatan dalam mengambil keputusan. Visi otonomi Habibie itu keren. Visi negara yang kuat. Cocok untuk melakukan perubahan di Indonesia dalam waktu cepat," sebutnya.
Terakhir adalah Gus Dur. Dedi menilai tokoh besar Nahdatul Ulama (NU) itu merupakan peletak dasar pluralisme kebangsaan yang meletakkan agama pada fundamental kebangsaan secara luas.
Gus Dur juga berhasil membuat logika publik menjadi terbalik. Pemahaman-pemahaman baru dari dirinya ini baru bisa dirasakan beberapa tahun kemudian.
"Memimpin Indonesia harus memiliki hal tersebut," terangnya.
Dalam filosofis Sunda, menurut Dedi, seorang pemimpin harus bisa ngurus bumi, ngapak mega, leumpang na luhur cai. Artinya, harus masuk pada kedalaman bumi yang dimiliki masyarakat, mengerti kekayaan alamnya.
"Pemimpin juga harus bisa terbang. Artinya, dia bisa melihat masyarakat dari jauh dan dekat dan berjalan di atas kepentingan semua golongan," ucap Dedi.
RENI SUSANTI/KONTRIBUTOR PURWAKARTA