PURWAKARTA, KOMPAS.com – Sekolah kujang bakal segera hadir di Purwakarta. Menghidupkan kembali kearifan lokal merupakan dasar rencana pendirian sekolah tersebut.
“Jepang negara maju sudah menciptakan mobil terbaik. Tapi kalau berkunjung ke Jepang, mereka berkata ini adalah kota penghasil pisau terbaik. Mereka memiliki identitas,” ujar Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi tentang analogi dasar rencana ini, beberapa waktu lalu.
Kujang adalah sebentuk perkakas tradisional di Tatar Sunda, yang sejarah awalnya dipakai untuk pertanian dan peralatan sehari-hari. Dedi mengaku ingin kujang muncul menjadi identitas yang kuat seperti halnya samurai di Jepang.
“Tak hanya (identitas kujang) sebagai alat pertanian tapi juga (untuk) pariwisata,” kata Dedi.
Rencananya, sekolah tersebut akan dibagi dua. Pertama, sekolah khusus untuk wisatawan mancanegara. Kedua, sekolah yang memang akan mencetak empu kujang.
Bagi ahli energi Hanson Barki, kujang memiliki energi positif yang memberikan dampak baik kepada siapa pun yang melihat apalagi memakainya.
“Ada tiga hal penting dalam pembuatan kujang. Yakni mengolah bagan, seninya itu sendiri, dan vibrasi,” ujar Hanson yang juga dilibatkan dalam rencana pendirian sekolah ini.
“(Pengukuran vibrasi) itu sudah dikembangkan di dunia kedokteran, dan kita bisa menggunakannya di sekolah kujang ini,” imbuh Hanson.
Penerapan teknologi vibrasi akan memungkinkan orang membedakan kujang bernilai tinggi laiknya buatan empu dan perkakas biasa.
Dedi pun lalu bertutur soal kujang. Perkakas ini memiliki banyak fungsi sekaligus.
Kujang bisa dipakai menyabit rumput, menggergaji, atau jadi alat pengungkit untuk membuka botol atau paku. Alat ini bisa dipakai pula laiknya linggis, golok, dan parang.
Bentuk kujang di satu sisi memperlihatkan wujud seperti bagian tamam golok, sementara di sisi lainnya bergerigi serupa gergaji.
Menurut Dedi, kujang memperlihatkan betapa lihai orang-orang pada zaman dulu mengembangkan perkakas multiguna.
“Namun kujang yang banyak dikembangkan adalah kujang berupa senjata, yang ujungnya lancip. Padahal mulanya kujang tidak lancip dan tidak berfungsi untuk membunuh,” ungkap Dedi.
Orang Sunda, lanjut Dedi, tidak membesarkan kujang untuk menjadi alat perang. Dalam sejarahnya, ujar dia, orang Sunda tidak suka perang dan mencintai kerukunan.
Bahkan, kata Dedi, pegangan kujang pada zaman dulu tidak terbuat dari kayu tetapi berbahan bambu.
Rencananya sekolah ini akan mulai dibangun berbarengan dengan pengembangan konsep desa wisata yang juga digagas pemerintahan Dedi pada tahun ini.
(RENI SUSANTI)