Brandzview

Dedi Mulyadi: Jangan Kompromi dengan Gerakan Intoleransi!

Kompas.com - 20/03/2017, 11:53 WIB

KOMPAS.com – Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan, tantangan dalam mewudujkan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) rata-rata berumber dari pemahaman internal agama itu sendiri. Dedi membaginya dalam dua hal.

Pertama, pandangan bahwa agama itu bersifat individual, yang tidak dibawa ke dalam kewajiban hukum bernegara. Ada pula pemahaman untuk mendirikan negara Islam.

"Kedua doktrin itu sering menimbulkan konflik kepentingan," ujar Dedi di sela Kongres Nasional KBB yang diselenggarakan Komnas HAM di Jakarta, Kamis (16/3/2017) lalu.

Karena itu, lanjut Dedi, cara pandang beragama di Purwakarta dibuat komprehensif. Contohnya, siswa muslim SD hingga SMA di Purwakarta diajarkan kitab kuning oleh para kiai dari pesantren. Begitu juga agama lain, mempelajari kitab dasarnya masing-masing.

"Guru yang mengajar bukan guru agama di sekolah, tapi sengaja kita rekrut dari pesantren, wali gereja, pendeta, dan lainnya. Semuanya digaji pemerintah," kata Dedi.

Lalu, pihaknya membangun ruang spiritualitas di sekolah. Walau di sekolah tersebut siswa bergama Hindu hanya dua orang, pemerintah Purwakarta menyediakan tempat ibadahnya. Bahkan, ruangan untuk penganut Kristen dan Katolik dibuat terpisah.

Kebijakan itu tidak ada yang menentang. Kalapun ada, sifatnya hanya ketakutan para guru, terutama jika ada pihak-pihak yang menggeruduk sekolahnya akibat kebijakan tersebut.

"Sampai sekarang tantangan psikologi (ketakutan) itu bisa kita lewati," ucapnya.

Tak hanya itu. Setiap Kamis dan Jumat anak-anak di Purwakarta dicekoki pemahaman tentang nilai-nilai Pancasila.

"Yang mengajarnya profesor," tuturnya.

Dok Humas Pemkab Purwakarta Walau siswa bergama Hindu hanya dua orang, Pemerintah Purwakarta tetap menyediakan tempat ibadah di sekolah. Bahkan, ruangan untuk penganut Kristen dan Katolik dibuat terpisah.
Jangan berkompromi

Dedi mengatakan, upaya yang dilakukannya itu bisa diraih dengan regulasi yang tegas dari pemerintah. Menurut dia, seorang pemimpin tak perlu bermain wacana politik yang bersifat partisan. Pemimpin tidak boleh takut kehilangan calon pemilihnya ketika memberi ruang besar pada pluralisme.

"Ruang antipluralisme tumbuh dan berkembang karena diberi kompensasi dalam dukungan politik. Karena ideologi Pancasila sudah final, maka pemimpin di daerah manapun tidak boleh melakukan transaksi ideologi," ujarnya.

Dia sendiri tidak khawatir kehilangan dukungan. Sebab, dua kali mengikuti pemilihan kepala daerah di Purwakarta dia dihantam hal yang sama, yakni isu kafir dan musyrik. Namun, di dua pilkada itu Dedi malah menang.

Dedi menambahkan, bahwa hal yang tidak boleh diabaikan adalah pencegahan bibit intoleransi. Dia menilai ada tiga bibit intoleransi di masyarakat, yakni kurang tegasnya aparat, pendidikan, dan persoalan tata kota.

Aparat, lanjut Dedi, harus memiliki ketegasan untuk memberikan jaminan keamanan kepada seluruh warga negara dalam menjalankan ibadahnya masing-masing. Itu artinya, tidak boleh ada kompromi sedikit pun antara aparat dengan kelompok intoleransi yang mengatasnamakan agama.

"Kalau dilakukan kompromi, sama saja dengan melakukan pembiaran terhadap gerakan intoleransi," tuturnya.

Kedua, pemahaman bahwa perbedaan merupakan rahmat bagi umat manusia harus tersosialisasikan dengan baik sejak dini. Karena itulah ia melahirkan program Sekolah Ideologi untuk menguatkan nilai kebangsaan dan kebhinekaan terutama para pelajar.

“Pendidikan kita secara umum harus mengajarkan toleransi dan menanamkan bahwa perbedaan pendapat itu merupakan hal yang bersifat wajar,” ujarnya.

Ketiga, pembangunan tata kota kerap menjadi penyebab menjamurnya intoleransi. Ia mencontohkan, saat orientasi pembangunan tata kota berpusat pada komersialisasi tanpa memperhatikan warga miskin di sekitarnya akan tumbuh kesenjangan.

Dok Humas Pemkab Purwakarta Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi sedang mengenalkan kitab kuning dan mendorong para pelajar membaca buku berisi banyak pemikiran klasik tersebut.
Ketika kesenjangan ekonomi kian melebar, paham radikalisme mulai tumbuh. Dalam konteks ini, persoalan kemiskinan menjadi salah satu penyebab kemunculan radikalisme.

"Inkonsistensi pembangunan tata kota, perumahan elit, komersialisasi itu bisa menimbulkan kesenjangan ekonomi. Nah, dari sinilah muncul radikalisme, masyarakat menjadi galau, saya kira hal ini harus diperhatikan oleh Komnas HAM juga," ujarnya.

Dia pun menilai, isu agama seringkali menjadi alat kepentingan sementara kelompok untuk memenangi kontestasi politik. Jika fenomena ini terus berlangsung, ia khawatir kehidupan demokrasi di Indonesia semakin tercederai.

"Kalau isu agama terus menerus dipakai sebagai komoditas politik, ini sangat berbahaya bagi perkembangan iklim demokrasi yang sejuk," ucapnya.

RENI SUSANTI/KONTRIBUTOR PURWAKARTA

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau